Hari ini, aku dan si Kacamata kehujanan. Niatnya adalah bersegera ke rumahku untuk melanjutkan belajar. Tidak ada jadwal piket, maupun kumpul Klub Sastra yang menahan kami lebih lama di sekolah, makanya segera saja kami beranjak diri.
Namun siapa sangka, baru setengah jalan dan awan hitam menggulung di langit. Jutaan tetes air yang deras—seakan sebuah danau ditumpahkan dari langit—menerpa, memaksa kami berlari sebelum seragam basah kuyup.
Seperti di malam panas yang memunculkan kehausan, sebuah minimarket menyelamatkan kami dari hujan. Aku mendengus, kesal sebab kata prakiraan cuaca tadi pagi, tidak akan ada hujan hingga malam.
“Oh, Kreator,” ucap Kacamata terdengar seperti ibu yang gemas pada anaknya, “prediksi memang kerap kali berakhir terkhianati. Tiada gunanya kita terbawa emosi.”
Kubalas saja ucapan logisnya dengan dua kali “ya” dan menyudahi percakapan singkat ini. Embusan angin dingin dari AC di dinding terasa menusuk di badanku—yang hanya berlapis kemeja putih yang basah separuh atasnya.
Parah, aku bisa mati kedinginan di sini!
Bukannya tidak bersyukur sudah terlindung dari hujan, hanya saja aku tidak menyukai suhu dingin yang harus kubilang agak keterlaluan di minimarket ini. Berapa AC yang mereka pasang di tempat ini?
Untung saja, jaket blazer kulipat dan tersimpan aman di dalam tas. Tetapi, baru mau kukeluarkan kembali blazerku, tampak Kacamata yang berdiri di sampingku melipat tangan di depan dada. Serupa diriku, loafer dan kaus kakinya basah. Begitu pula pundaknya yang masih terlindungi blazer hitam. Setelah mendengar embusan napasnya yang terkesan dipaksa, aku mengira, Kacamata pun kedinginan.
“Lepas saja jaketmu,” celetukku, “pakai punyaku.”
Sang gadis menolehkan muka, memandangku yang menyodorkan blazer dengan agak terkejut. Sedetik kemudian, sambil tersenyum ia membalas, “Terima kasih, Kreator. Tapi kukira dirimu yang sebaiknya mengenakan itu. Dingin, bukan?”
“Tidak apa-apa. Begini-begini aku laki-laki. Juga, orang mana yang membiarkan pacarnya kedinginan begitu saja?”
“Hooh~ Apa ini, berlagak keren, kah?”
“Bukan, sih .... Tapi ....”
“Tak usah, Kreator. Aku baik-baik saja.”
“Tapi kan—“
Belum selesai aku melontarkan argumen tambahan, Kacamata mengakhiri negosiasi dan beralih ke aksi. Ia merampas blazerku, mengibarkannya di udara, lantas menggantungkannya di atas kedua pundakku. Semua terjadi lebih cepat dari sekerjap kedipan.
Hanya saja, tak berhenti di situ. Kedua tangan Kacamata belum melepaskan ujung blazer, lantas menariknya kuat-kuat—melilit tubuhku erat seperti bungkusan furoshiki. Ia menarikku, memaksaku menatap lekat wajah berekspresi lembut itu.
Serendah bisikan, Kacamata kembali berucap, “Kebaikanmu sudah cukup menghangatkanku. Biarkan kukembalikan perhatianmu itu pada dirimu.”
Senyumnya tipis, tapi lembut dan menghangatkan. Rambutnya yang belum memanjang masih basah, menurunkan poninya dan menutupi mata kanannya. Kendati demikian, pandangan kami tetap bertemu, menembus lensanya yang digelayuti beberapa tetesan air dan embun di beberapa sudut.
Aku tahu kekasihku ini cantik. Cuma, jarang sekali kulihat dirinya sekeren ini. Entah karena dingin atau keterkejutan akan gestur tak terkiranya, aku membeku dan bisu di sana.