Flash Fiction
Disukai
0
Dilihat
268
Badut
Drama

“Kok Om Badut itu nggak pernah ke sini, Ma?”

“Badut apa, Sayang?” tanya Zarah. Dua minggu ini, anaknya, Lolly dirawat di bagian pediatrik Rumah Sakit Batavia. Tepatnya di Kamar Emerald 2. Selain Lolly, ada tiga pasien lainnya yang mendiami kamar itu. Menempati ranjang yang paling dekat dengan pintu, tak heran apabila Lolly mampu memandang lorong di luar dengan leluasa. Dalam seminggu ini, sudah tiga kali anaknya itu bertanya tentang badut.

Lolly mengangkat tangan, “Itu.”

Tapi belum sempat Zarah melihat, perawat yang sedang melakukan pemeriksaan rutin, berkata, “Lolly, hidung kamu berdarah. Dibersihkan dulu, ya!”

Zarah menghembuskan napas dalam-dalam. Dia masih saja panik meskipun hal itu telah terjadi berulang kali. Namun, mendapati begitu tenangnya Lolly ketika perawat menyeka bercak merah dari indra penciuman anaknya itu, Zarah pun berusaha tidak menunjukkan kekhawatiran yang berlebihan.

“Memangnya, hari ini siapa yang ulang tahun? Kok ada badut?” tanya Lolly penuh penasaran.

“Nanti Kakak cari tahu, ya. Sekarang, minum obat dulu! Supaya cepat sembuh.”

“Iya, Sayang. Biar nanti bisa rayakan ulang tahun kamu di rumah,” tambah Zarah menyemangati.

“Yang keberapa, Lolly? Kapan?” tanya perawat sembari membereskan peralatan medis yang telah selesai digunakan.

“Ketujuh, Suster. Empat hari lagi,” jawabnya.

Tiba-tiba, Lolly berseru, “Dirayakan di sini aja, Ma. Undang Om Badut, ya.”

***

“Ibu Zarah, silakan!”

Seorang wanita berkuncir satu menduduki kursi yang disediakan. Sudah dua hari ini, dia menyiapkan pesta ulang tahun untuk anaknya, Lolly. Izin merayakan sudah didapat. Namun, masih ada satu hal lagi yang belum terlaksana. Itu sebabnya dia mendatangi kantor sang kepala rumah sakit, dr. Habibie.

“Setelah berdiskusi, kami menetapkan tidak memperkenankan Ibu membawa badut.”

“Tapi, Dok. Masa di pesta ulang tahun anak kecil nggak ada badutnya?”

“Kami mohon maaf, Bu. Sebelumnya, kami pernah membolehkan badut di pesta ulang tahun. Ternyata, ada pasien yang ketakutan. Setelah itu, kami melarang kehadiran badut di rumah sakit ini.”

“Tapi, Dok. Anak saya melihat ada badut di bangsal anak-anak,” sanggah Zarah.

Kernyitan di dahi dr. Habibie pertanda kalau sang dokter kebingungan. “Tidak mungkin. Kalau ada, pasti sudah terjadi kehebohan. Saya mengerti kalau Ibu Zarah sangat ingin menyenangkan hati Lolly. Tapi, jangan mengarang-ngarang cerita, dong, Bu.”

Raut wajah dokter kepala Rumah Sakit Batavia menegang. Zarah meremas jemarinya. Dia tidak mau bertikai. Dia justru harus melunakkan hati dr. Habibie. Dia memutar akal demi mengabulkan permintaan anaknya. Dia sampaikan permohonan dengan sungguh-sungguh. Kemudian, dia menawarkan, “Bagaimana kalau saya memastikan pasien sekamar Lolly nggak keberatan ada badut di ruangan mereka?”

Cukup lama kantor dr. Habibie disesaki dengan keheningan. Sampai akhirnya dokter tersebut mengangguk sembari berkata, “Ya, silakan!”

***

“Apa? Badutnya nggak bisa datang?” tanya Zarah dan memaki lawan bicaranya lewat telepon. Lalu, menutup mulutnya setelah tersadar keadaan sekitar, ruang tunggu Rumah Sakit Batavia. Penyedia jasa badut ulang tahun yang dia sewa melontarkan solusi. Akan tetapi, pikirannya sudah buntu untuk sekadar mencerna saran tersebut. Dia pun memencet tombol “Off” di telepon genggamnya. Mendesah dia sambil memandangi layar perangkat komunikasi itu.

“Kenapa, Ma?” Suaminya datang dan mengambil tempat duduk di samping kanannya. Di pangkuan pria itu, terletak kotak kue berukuran sedang.

“Badutnya demam. Jadi, batal ke sini,” jelas Zarah lirih.

“Mereka nggak kirimkan penggantinya?”

“Katanya bakal diusahakan. Tapi, nggak dijamin karena mereka lagi banyak order. Mereka bilang akan mengembalikan uangnya saja.”

“Ya, sudahlah. Kita langsung ke kamar Lolly saja, yuk!”

“Badutnya nggak ada, Pa. Lolly kan, maunya ada badut di hari ulang tahunnya!”

“Ya, mau gimana lagi? Nanti kita bilang saja badutnya menyusul.”

Zarah menggeleng lemah. “Mama nggak bisa masuk ke ruangan itu dan berbohong sama Lolly, Pa. Iya, kalau badutnya ada. Kalau nggak? Bisa makin sedih Mama melihat kekecewaannya, Pa.”

“Ya, sudah. Kalau begitu, kita bilang saja badutnya lagi nggak bisa datang.”

Tatapan tajam dilayangkan Zarah kepada suaminya. “Papa memang nggak pernah berusaha keras bikin Lolly senang. Waktu Mama mau adain pesta saja, Papa nggak mendukung. ‘Buat apa, Ma? Yang simpel sajalah.’ Mama yang sibuk sana-sini. Minta izin rumah sakit. Tanya-tanya kontak badut yang dilihat Lolly ke ruangan lain. Apa Mama menyerah ketika nggak dapat nomor teleponnya? Nggak! Mama langsung cari alternatifnya. Terus, Papa apa? Cuma diam. Nggak ngapa-ngapain,” ceracau Zarah sambil terengah-engah.

“Papa cuma mau menikmati waktu sebanyak mungkin bersamanya, Ma. Bertiga. Bersama-sama. Kalau sibuk terus, kapan bisa bareng-barengnya?”

Kemudian, suaminya itu berdiri. “Lolly pasti sudah nungguin kuenya. Papa ke kamar Lolly, ya,” pamit pria yang menikahinya sembilan tahun silam itu.

Zarah terhenyak. Kalimat yang diucapkan suaminya membuatnya tersadar. Sejak Lolly divonis menderita kanker otak pada usia empat tahun, baru saat ini dia menyadari betapa semakin sempit waktu kebersamaan mereka. Dia menggigit bibirnya. Menahan tangis. Zarah pun bergegas menghampiri putri tersayangnya di Kamar Emerald 2.

***

Lolly sumringah. Hari ulang tahunnya kali ini sangat meriah. Teman-teman sekamarnya menyanyikan lagu “Selamat Ulang Tahun” dan mendoakannya panjang umur. Mama dan Papa menciumnya dengan sayang.

“Badutnya mana?” tanya Lolly.

Kenapa senyum Mama hilang mendengar pertanyaannya? Lolly jadi ikutan sedih kalau Mama tidak tersenyum. Lolly mau menghibur Mama, memeluknya supaya nggak cemberut lagi.

Namun, belum sempat dia melakukannya, badut yang dijanjikan oleh ibunya sudah datang. Om Badut memanggilnya. Lolly menarik tangan sang penghibur di pesta ulang tahunnya itu. Badut yang berwajah ceria dan berkostum warna-warni meraih tangan Lolly dan menggandengnya turun. Badut membawanya ke arah pintu keluar.

Lolly senang. Cengiran di wajahnya semakin lebar. Dia berbalik untuk memanggil Mama dan Papa. Tapi, kok Mama nggak melihatnya? Kenapa Papa diam saja? Lalu, kenapa Mama tiba-tiba menjerit-jerit? Papa juga menangis. Sebelumnya, Lolly nggak pernah mendengar Papa sedih. Tiba-tiba, ada banyak suster dan dokter mengerumuni tempat tidur. Padahal, Lolly, kan, lagi nggak tidur, pikirnya.

“Om Badut! Di sana, ada kereta Thomas, nggak?” tanyanya mengikuti Om Badut yang mengajaknya ke tempat bermain paling indah.

***

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Drama
Rekomendasi