Mentari mulai meredup di ufuk barat bumi. Perlahan angin dingin yang menusuk itu mulai membuat tulang-tulang terasa menggigil. Sayatan demi sayatan yang baru berhenti mengeluarkan darah itu kini mulai panas dan terasa seperti terbakar. Meskipun bukan seorang pakar kehidupan, tetapi ia ingin mengungkapkan hal itu.
"Hidup ini tidak adil" Ujar gadis berambut berantakan itu.
Bisa saja ini bukan kehidupan pertama kalinya, tetapi entah kenapa takdir serasa tak pernah berpihak padanya. Gadis bernama Liana itu mengacak-acak rambutnya untuk kesekian kalinya.
Setelah dibuang oleh orang tuanya sendiri, sekarang satu-satunya sahabat yang ia sukai itu ikut membuangnya.
"Bagaiamana ini bisa terus terjadi kepadaku ?" Liana ingin menangis keras, tetapi air mata itu bahkan seakan enggan berpihak dengannya juga.
Pembatas samping jembatan yang terbuat dari besi itu juga sama dinginnya. Liana mendekatkan tubuhnya di sana. Ia melihat air yang tak lagi jernih di bawahnya itu. Dengan tangan bergetar, Liana mengeratkan tangannya pada besi pembatas itu. Jujur saja ia memang takut pergi dari dunia ini, ia takut melompat ke bawah sana. Tetapi ia juga berpikir, apa fungsi dirinya berada di dunia ini sekarang. Ia tak melihat hal baik sama sekali.
"LIANA!!!" Teriak seseorang.
Di antara rasa pelik yang menghampiri pikiran Liana, suara teriakan yang sangat familiar itu membuat tangannya semakin bergetar hebat. Dan ia juga bahkan tak memiliki keberanian besar untuk menoleh ke belakang sana.
Tak lama, tangan lembut yang paling dikenalnya itu menggenggam lengannya dengan erat. Dan apa yang lebih buruk, tangan itu menggenggam tepat di sayatan-sayatan yang tadi telah Liana buat. Darah yang tadinya telah telah berhenti, sedikit demi sedikit kembali menetes.
Meskipun begitu, rasa perih di hatinya masih tak bisa dikalahkan. Dan sebuah pelukan hangat menyambut tubuh dingin Liana. Pelukan yang sangat Liana sukai, pelukan terhangat dalam hidupnya, pelukan yang ingin Liana miliki seumur hidupnya.
"Liana, apa yang kau pikirkan ? Kau gila ?" Nada marah dan khawatir itu menghangatkan hati Liana.
Tetapi, sekali lagi pikiran Liana membuatnya kembali sadar. Sahabatnya itu telah membuangnya setelah ia menyatakan cintanya. Ia tak boleh jatuh begitu saja karena dikhawatirkan seperti itu olehnya.
Liana dengan tenaganya yang tersisa, ia berusaha keluar dari dekapan itu. Meskipun awalnya lelaki itu tak mau melepaskannya, tetapi Liana akhirnya lepas darinya.
"Liana-" Lelaki itu menggantungkan katanya, ia segera menarik lengan Liana.
"K-kau- melakukan ini lagi ?" Lanjutnya sambil menatap lengan dan mata Liana secara bergantian.
"Rey," Liana menjeda katanya, "jangan pedulikan aku lagi"
"Kau pikir aku bisa ?" Lelaki bernama Reynando itu memejamkan matanya, ia terlihat seperti sedang menekan emosinya dalam-dalam.
"Apa yang membuatmu melakukan ini, kau punya aku untuk bercerita, kenapa kau melakukan hal bodoh ini ? Kau tak percaya padaku lagi ?"
"Aku tak memiliki siapa-siapa" Cicit Liana pelan.
"Kau tak mempercayaiku ?" Tegas Reynando lagi.
"Kau-" Liana menundukkan kepalanya.
Kemudian tak ada suara pun di antara keduanya. Reynando sengaja menunggu Liana menyelesaikan katanya. Sementara Liana, ia tak sanggup untuk mengungkapkan lanjutan kalimat yang sudah ada di otaknya itu.
Setelah dalam beberapa menit keduanya diam, Liana akhirnya mengembuskan napasnya kasar. Kesunyian di antara mereka membuat pikirannya semakin kacau.
"Kau membuangku, kau tak mau denganku" Ungkap Liana dengan sekali tarikan napas.
"Aku tak pernah berkata seperti itu" Balas Reynando.
"Kau satu-satunya yang kumiliki dalam hidupku, dan kau menolakku saat aku bilang aku ingin berkencan denganmu"
Seketika Reynando mengambil kedua tangan Liana. Ia mengusap lembut jemari yang dingin itu.
"Apa aku juga mengatakan kalau kita tetap berteman ?" Tanya Reynando dengan nada yang lembut.
"T-tapi-"
"Aku memang tidak bisa menjadi pasanganmu, kau sudah mengalami banyak hal yang berat dan menyakitkan. Dan kehidupanku yang kacau ini, aku tak bisa membaginya denganmu. Aku tak ingin bebanmu semakin berat karena aku. Tapi, kita masih bisa berteman. Ini adalah yang terbaik untuk kita berdua, kau paham maksudku, 'kan ?"
Air mata Liana tiba-tiba mengalir deras. Mendengar penolakan itu untuk kedua kalinya, hatinya benar-benar hancur.
"Aku masih bisa menemanimu kemanapun, memberikan apapun yang kau inginkan, kau percaya padaku, 'kan ?"
"B-benarkah ?" Liana menatap mata Reynando yang terlihat bersungguh-sungguh dengan kata-katanya itu.
"Aku akan selalu berada di sisimu apa pun yang terjadi. Aku tak akan meninggalkanmu apa pun yang terjadi. Ingatlah itu"
"S-sungguh ?" Reynando mengangguk mantap atas pertanyaan Liana.
"Apakah kita bisa menjalin hubungan di kehidupan lain ?" Tanya Liana.
"Mungkin"
Mendengar jawaban Reynando, Liana tersenyum lebar, ia menautkan tangannya dengan tangan Reynando lebih erat dari sebelumnya.
"Kita pasti bahagia di kehidupan lain" Ujar terakhir Liana.