Hanya dengan tidur aku bisa menjelajah ke dunia yang tak terbayangkan. Bukan mimpi seperti kebanyakan orang. Tidurku adalah portal menuju dunia lain. Seperti sekarang ini, aku bangun di belantara. Di sisi kananku sabana maha luas sedang di sebelah kiriku adalah hutan dengan pohon-pohon besar dan tinggi. Di bawahnya tak banyak semak, sehingga terlihat akar-akar pohon itu yang mencuat dari permukaan tanah yang di tumbuhi lumut tebal. Sisanya adalah tanah yang tertutup dedaunan yang gugur. Setiap langkah yang aku ambil akan menghasilkan suara. Untuk orang yang gila ketenangan, bahkan suara langkah kaki sendiripun terdengar mengganggu.
Di tempat baru dan tak ada orang yang bisa aku tanyai, ke mana aku harus pergi?. Tapi bukan aku jika hanya berdiam diri menunggu sesuatu terjadi untuk bergerak. Berdasarkan pengalamanku selama ini, menunggu hanya akan mendekatkan diri pada bahaya. Jadi, sebelum bahaya datang lebih baik mencari tempat aman lebih dulu.
Sayangnya, secepat apa pun kita menghindar dari bahaya, saat waktunya tiba tetap saja kita harus berjuang untuk mempertahankan hidup. Lalu apa gunanya bergerak lebih dahulu untuk menghindar dari bahaya? Bukankah lebih baik menyimpan tenaga untuk bertarung melawan bahaya? Hei...! Kalian pikir menghadapi bahaya cukup dengan tangan kosong, tidak kan?
Mati di mimpi sama dengan mati di kehidupan nyata. Dengan kata lain jika aku tak tidur lagi aku tak bisa kembali ke dunia nyata, dalam artian duniaku juga duniamu berada. Sayangnya aku tak bisa langsung tidur lagi untuk kembali, aku harus menghadapi bahaya sampai kelelahan dan hampir mati, melewati beberapa jam di tempat baru sampai tidurku bisa membawaku kembali.
Aku hanya bisa menegang dengan mulut berkomat-kamit berharap bahaya yang harus aku hadapi tidak aku temui secepat ini. Dengan perlahan aku mengangkat kepalaku sampai mendongak. Demi pencipta alam semesta ini, aku bahkan belum menemukan sesuatu yang bisa aku jadikan senjata dan sekarang aku melihat ular setinggi pohon kelapa tengah mendesis rendah. Aku kembali memandang ke depan sambil dalam hati berhitung. Di hitungan ketiga aku mengerahkan semua kekuatanku untuk berlari menerjang hutan. Sesekali aku melompat dan merundukan tubuh untuk menghindari akar-akar pohon yang mencuat.
Akan lebih cepat mati jika masuk ke sabana. Sudah barang pasti jika sabana yang luas memudahkan ular itu untuk bergerak. Sekuat apa pun aku berlari, setangguh apa pun tubuhku, pada akhirnya aku akan kalah oleh rasa lelah, gerakaku tak akan selincah sebelumnya. Dan sekarang jatuh tersungkur, dan entah bagaimana kakiku malah menyangkut di antara akar pohon membuatku tertahan.
Aku tertawa sinis saat ini, aku yang tak bersenjata dengan kaki tersangkut seperti ini seperti sedang menunggu maut. Dan lihatlah, ular besar yang tak pernah tertinggal jauh itu sudah ada di depannya. Jijik dan ngeri saat aku melihat lidahnya yang menjulur membasahi bagian atas mulutnya dan taringnya yang panjang itu. Eew.... Apa hidupku akan berakhir hari ini? Menyedihkan sekali riwayat hidupnya, bahkan mati pun dia tak memiliki kubur.
Saat ular itu melesat ke arahku dengan mulut terbuka lebar, aku hanya bisa memejamkan mataku erat-erat. Berharap aku sudah bisa kembali sebelum asam lambung ular itu membunuhku.