Flash Fiction
Disukai
0
Dilihat
757
Fulan dan Bocah Bangkot di Tengah Hujan
Drama

Apa sebab Fulan mengebut sehingga, dalam beberapa saat ke depan di jalan kampung itu, membikin dirinya terluka parah dan, tambah nahas, mencelakai Bocah Bangkot? Bukan semata-mata lebatnya hujan selagi dia masih berkendara. Sebelum terjadinya kecelakaan yang bakal datang itu, malah sebelum air hujan bakal tumpah dan berkelindan dengan darah: Fulan berada di rumah Fulanah.

Rumah Fulanah, yang berdinding bilik dicat putih dan berpagar bambu dengan ajir-ajir yang bertunas, berderet bersama rumah-rumah lainnya di sebuah kampung, kampung kecil yang tak begitu jauh jaraknya dari kampung lokasi kecelakaan bakal berlangsung. Pekarangannya rada luas, ada sebatang pohon mangga yang tumbuh di pojok pagar sebelah kiri rumah, di sebelah kanannya berdiri jemuran bertiang kayu—berbentuk dua huruf T, yang mana di atasnya dua galah terbujur dan terdapat dua ekor ayam lagi bertengger. Di tengah pekarangan, lurus dengan pintu pagar, Fulan memarkir motor.

Motor Supra itu, sampai pada ketika ia bakal terkejut menghantam tubuh Bocah Bangkot, sudah setahun membersamai Fulan. Baginya si pemuda bersahaja, sebagai tuan, cukup memperlakukannya dengan apik. Ia hampir saban hari mandi dan teratur berganti oli, dan tak pernah kehausan bensin. Demi peran memperelok romansa, olehnya Fulan dan Fulanah diantar ke pasar malam, warung pecel lele, pantai, tempat memancing, wisata air, dan lain-lain. Mereka bertiga ada banyak kenangan. Ia senang dengan perannya itu, senang menyimak kemesraan pasangan kekasih, harapan-harapan dan canda gurau mereka. Ia cuma bakal waswas ketika mereka bertengkar kecil atau berselisih paham, atau ketika seperti yang sekarang disimaknya: di beranda tampak Fulan lagi memohon penjelasan Fulanah.

Fulanah gadis yang baik dan ramah, putri bungsu di keluarga itu. Kali pertama ketika melihatnya lagi menyapu di pagi hari, kalau kebetulan kau lelaki dan syukur-syukur masih bujang ketika melintasi rumahnya, kau niscaya tak bisa tidak jatuh cinta, sekurang-kurangnya tertarik. Ketika melihatnya di pagi itu, sambil berlalu, mungkin kepalamu sontak memutar ke kiri, dan malah mau rasanya balik arah, berlagak kebetulan kenal bapaknya yang sebenarnya seorang pengangguran dan jarang bepergian, atau berpura-pura bertanya sesuatu buat bisa berlama-lama memandangi paras manis itu.

Paras manis itu sekarang lagi menangis di samping bujang yang berhasil memikat dan memilikinya—setelah berkali-kali sengaja melintas sebelum memutuskan berani bertamu, memilikinya sementara, setidaknya sampai sebelum Fulanah mendengar rencana bapaknya yang kontan Fulan muskil menjadikannya bini. Setelah mengirim pesan supaya Fulan datang ke rumah, sekarang dia kelu buat menyampaikan berita itu, bahwa dia Siti Nurbaya dan Fulan disalip licik seorang Datuk Maringgih tak dikenal dari suatu kota. Rencana purba tersebut terasa begitu mendadak. Pecahlah tangis Fulanah—dan bakal menghebat setelah tahu kecelakaan yang dialami Fulan, tak kuasa dia menatap muka lelaki yang dicintainya.

Lelaki yang dicintainya itu, dengan muka kebingungan, terus memohon penjelasannya. "Ada apa? Kenapa menangis? Bicaralah. Bapak? Kenapa bapakmu? Di mana sekarang Bapak?"

Bapak dan ibu Fulanah lagi mencuri dengar di ruang tengah, senang menyimak bakal kelarnya hubungan itu, hubungan yang sedari awal memang tak diharapkan. Fulan menghampiri mereka dengan sopan, cuma buat kemudian membendung amarah yang meluap, memungut kasar harga diri yang dijatuhkan, dengan penglihatan yang menggelap seolah-olah diliputi mendung.

Mendung tampak sudah menebal di langit, hujan bakal turun lebat. Di kampungnya, Bocah Bangkot bakal kegirangan menyambut. Itu hujan yang ke sekian, sejak peristiwa yang disesalinya, ketika bininya yang sudah tak tahan terhadap perbuatan serongnya terisak-isak pergi, meninggalkannya yang berdiri membujuk dalam hujan yang mengguyurnya di jalan.

Jalan beraspal di mana Bocah Bangkot melihat bininya buat terakhir kali, sebagaimana banyaknya jalan kampung, tak begitu luas, dua mobil muskil mulus apabila berpapasan. Ia menghubungkan kampung dengan jalan raya di sebelah barat. Di antara deretan pohon dan tiang-tiang listrik, ia macam ular hitam panjang, terbujur kaku, ekornya di timur berbatasan dengan jalan setapak menuju gunung. Di malam hari di musim kemarau, bocah-bocah kampung suka bermain bola api di atas tubuhnya, atau tawuran sarung, dan pada malam-malam bulan Ramadan tiap dini hari mereka berjingkrak-jingkrak menginjak-injaknya, menabuh kentungan dan tong besar, membangunkan orang buat bersahur. Sebelum hujan turun, tubuhnya dilindas beberapa motor yang hilir mudik, dan bocah-bocah SD yang balik sekolah sebelum mereka berbelok ke lorong-lorong menuju rumah masing-masing, cepat-cepat ganti baju, tak ada sabar menyambut hujan.

Hujan akhirnya turun, sekarang sebagian bocah-bocah kampung itu pergi mau bermain becek di sawah yang siap ditandur, sebagian lain mengiring Bocah Bangkot yang berbasah-basah di bawah hujan, melewati lorong menuju jalan. Di tiap-tiap rumah yang dilewati, sebagaimana biasa: orang-orang mencemooh melihat Bocah Bangkot lagi-lagi berbasah-basah dengan kelewat girang.

"Girang betul kau, Bocah Bangkot!" kata salah seorang. "Dasar Bocah Bangkot!"

"Bocah Bangkot sinting! Bocah Bangkot sinting!"

Sinting oleh orang-orang kampung dianggap pas buat menyebut tabiat Bocah Bangkot, suatu tabiat yang karenanya dia beroleh panggilan Bocah Bangkot. Sejak bininya tak ada pulang, dan dia juga merasa luar biasa malu kepada mertuanya sehingga bulan demi bulan sangsi menjemput—meskipun amat ingin, gelagat Bocah Bangkot mulai tak beres. Tiap kali datang hujan, seolah-olah macam mengenang kepahitan, Bocah Bangkot berbasah-basah di bawah guyuran, dari pekarangan pergi ke jalan, tertawa-tawa dalam penyesalannya, mentertawakan kebodohan dan keburukannya sendiri di masa lalu. Tabiatnya itu kadang mengibakan, dan lebih sering dijadikan hiburan oleh orang-orang.

Orang-orang sekarang mulai mendengar tawanya di jalan, tawa penghabisan Bocah Bangkot dalam guyuran hujan. Sedang rada jauh di belakang Bocah Bangkot, Fulan yang seolah-olah kesetanan mengendarai Supra dengan kelewat kencang.

Kencang betul lajumu, pemuda setan! Si jalan coba berkata, mengingatkan Fulan. Demi kebaikan, pelankan itu si Supra!

Supra itu mau menangis, dan terus coba berkata meski percuma, Tuan, goblok! Masih banyak perempuan mau jadi bini! Rem aku, Tuan, rem! Dengar, bisa-bisa kita celaka di jalan!

Jalan mau berbuat sesuatu, tetapi ia tidak tahu kudu bagaimana.[]

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar