Flash Fiction
Disukai
0
Dilihat
189
Perundingan Utusan Yanto Plongo dengan si Jagoan
Drama

Di antara iring-iringan Bus Pariwisata, di balik jejeran batang-batang kelapa di pantai tak bernama yang dikelola sebuah hotel tak bintang lima, di cakrawala: matahari senja tak terhalang mega-mega. Indah terlihat dari sebuah kafe, kafe yang cerdik memanfaatkan panorama.

Konon kafe Ahlos tak pernah sepi, sejak pertama kalinya buka baru satu pekan yang lalu. Pantas saja. Di sudut suatu kabupaten itu, Ahlos memang satu-satunya. Di pelataran parkir tampak motor berjejer, roda-roda depannya hampir menempel ke tembok putih kira-kira sebatas dada.

Minggu sore itu, di dua meja yang bersebelahan kelompok muda mudi sedang bercengkerama dan bermain gim. Di meja lain, seorang pemuda berhadap-hadapan dengan laptop—mungkin sedang mengarang, berseberangan dengan meja yang ditempati seorang perempuan yang khusyuk membaca buku. Dan di belakang meja si perempuan, ada satu lagi pemuda yang juga sedang berhadap-hadapan dengan laptop di mejanya. Sedang di meja yang di pojok—dekat dinding yang memajang lukisan-lukisan impresionis, tanduk rusa, dan potret hitam-putih mengabadikan wajah-wajah tak dikenal, diimpit meja-meja tersebut, mereka—bukan si perempuan dan dua pemuda—berbincang hati-hati di tengah musik instrumental yang mengalun pelan.

Bagaimana keadaanmu, anak jagal?

"Bagaimana keadaanmu, anak jagal?"

"Makiannya tak usah, Sero! Dalam keadaan ingin duel dengan setan-setan. Pak Jagoan?"

Linglung, anak jagal.

"Linglung."

"Omong-omong, jangan berlagak. Jangan menyebutku anak jagal, Pak Jagoan jelas bukan tak berdosa—langganan, malah. Ah, begini tak nyaman, terlalu menarik perhatian. Lakukan, Pak Jagoan. Sudah?"

"Ini aku, anak jagal. Bagi rokokmu."

"Bangsat, tapi begini lebih baik. Merokok? Memangnya Pak ...."

"Rokok macam apa ini!"

"Mentol. Rokok mentol."

Seorang pramusaji—laki-laki yang, sepertinya, berusia dua puluhan awal—menghampiri meja itu, membawakan stik pisang keju dan Cappuccino. Dia kemudian segera berlalu.

"Saat masih bocah sering kau kududukkan di pundakku. Waktu berjalan cepat rupanya. Gayamu, dengan jaket hitam dan rambut gondrong seperti itu, sekarang mirip betul dengan karibku yang berkhianat."

"Mendiang Ayah tak punya pilihan, bagaimanapun, selain nyawa kami. Andai saja Pak Jagoan tak membelot."

Sekelompok muda mudi satu per satu meninggalkan meja mereka, berpisah dengan kelompok satunya yang masih bermain gim.

"Pantas aku membelot, tolol!"

Perempuan—berwajah manis, berambut pendek dan mengenakan sweter krem—yang sedang membaca sekilas melirik ke meja pojok itu, tetapi bukan lantaran terganggu, karena pasti dia hanya samar-samar mendengar perbincangan mereka. Dia lalu kembali hanyut ke dalam bukunya.

"Sssttt, jangan keras-keras bicaranya. Pak Jagoan tak lagi sedang di tanah kosong."

"Pantas aku membelot. Rupanya kau masih tak tahu, anak jagal."

"Aku sudah tahu, tapi Yanto Plongo, saat itu, adalah bajingan yang kepadanya Pak Jagoan berutang ilmu, bukan begitu?"

"Jangan karena itu dia dengan santainya membodohiku! Aku yang membikinnya makmur, aku yang memenuhi permintaan orang-orang itu, aku yang mencuri kertas-kertas itu, tapi dia tak memberiku sepeser pun bayaran besar yang didapat!"

Salah seorang pemuda—rambutnya dikuncir dan mengenakan kaus bergambar Gabriel García Márquez—sejenak memandang si perempuan yang masih asyik membaca, kemudian sejenak juga beradu tatap dengan pemuda satunya.

"Itu, yang Pak Jagoan curi itu, adalah dokumen-dokumen penting peninggalan suatu rezim. Pembangkangan Pak Jagoan, kalau begitu, dimulai sejak menolak mencuri lukisan bersejarah itu, betul?"

"Ya, akhirnya Korun yang melakukan."

"Dan berakhir apes."

"Berhenti babibu, katakan segera, anak jagal. Dari sebagiannya yang dikubur di tanah bangunan ini, disimpan di mana lagi sebagian tubuhku? Lalu lantai ini cepatlah bongkar! Aku sudah tak sabar!"

"Yanto Plongo bilang, Pak Jagoan lebih dulu."

"Harus kau!"

"Kepada siapa Pak Jagoan jual karya pengarang P yang sempat diselamatkan seseorang?"

"Di mana dulu tubuhku."

"Di tangan siapa barang berharga itu?"

"Suit?"

Salah satu pemuda—setelah memasukkan laptop ke dalam tasnya—bangkit dari duduk, menghampiri meja kasir, kemudian berlalu terburu-buru. Si Bukan Anak Jagal, mungkin memikirkan sesuatu, tiba-tiba mengejarnya. Dasar bodoh.

Di meja pojok, si Sero telah kembali—jantungnya terdengar berdebar. Aku melipat laptop, dan menyeringai ke si Jagoan: dia tampak terkejut ketika itu—tahu bahwa aku melihat dia. Terlambat kau, keparat.[]

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Drama
Rekomendasi