Flash Fiction
Disukai
0
Dilihat
541
PINTU MERAH MAROON
Misteri

Aku menatap sebuah pintu tepat di samping pintu kamarku. Pintu berwarna merah maroon yang tidak pernah ada yang mencoba untuk membukanya. Ayahanda bilang, pintu itu tidak ada apa-apanya, hanya sebuah kesalahan saat membangun rumah ini. Ya, pintu ini memang terlihat seperti pintu biasa saat dilihat dari luar. Namun, menurutku itu bukan hanya sebuah pintu biasa.

Setiap malam, pasti pintu itu selalu berisik. Bukan seperti berisik suara manusia, namun seperti berisik suara robot. Aku bisa berasumsi seperti itu karena aku mempunyai sebuah robot mainan, yang biasanya berbunyi seperti itu bila kumainkan.

Rasa penasaran yang muncul membuatku ingin memasuki pintu tersebut. Akankah aku akan masuk kedunia lain, seperti dunia robot misalnya?

Tepat pukul sembilan malam, aku bergegas masuk ke pintu merah maroon itu. Aku mendorong pelan pintu tersebut yang untungnya tidak pernah dikunci.

 TREKK...

Pintu berwarna merah maroon itu berderit, lalu terbuka perlahan. Sebelum semua orang bangun dan mendengar derit pintu, aku langsung masuk kedalam pintu itu.

Suasana di dalam pintu itu gelap gulita, tak ada sedikit cahaya pun yang masuk. Aku menghidupkan senterku dan terus berjalan dengan hati-hati.

Beberapa menit kemudian, aku menemukan sebuah pintu berwarna abu tua di depan mataku. Kuarahkan cahaya senter ke pintu tersebut. Pintu itu berbeda dari pintu di rumahku. Warnanya abu tua berbahan besi dan alumunium.

Tepat di pintu inilah suara berisik itu muncul kembali. Suara seperti orang-orang yang sedang berpesta di sebuah hiburan musik. Lebih tepatnya, seperti robot-robot yang sedang berpesta.

Aku menekan sebuah tombol. Pintu itu pun terbuka perlahan

Tepat saat pintu itu terbuka, terlihat banyak sekali robot yang mirip selayaknya manusia sedang menari dan menyanyi diiringi oleh alunan musik.

Aku mematikan senterku, lalu berjalan perlahan ke arah para robot yang sedang menari. Aku berjalan sambil memperhatikan ruangan yang membuatku tanpa sadar menabrak sebuah meja tepat berada di depanku.

Sebuah gelas kaca ikut jatuh saat aku menyenggol meja. PRANGG...

Suara gelas yang terlalu keras membuat para robot mengalihkan perhatian padaku. Kini, semua robot tidak menari ataupun menyanyi, hanya menatapku dengan tatapan tajam.

Seorang robot penyanyi wanita turun dari atas panggung lalu berjalan ke arahku.

“SLEBEBEW BEBEW BEBEW?”, tanyanya sambil menatapku.

Sementara aku yang bingung hanya bisa terdiam mendengar ucapannya.

Menyadari diriku yang kebingungan, wanita itu memasangkan sebuah gelang alumunium di pergelangan tangan kananku.

“Nah, sekarang kau bisa mengerti apa yang kuucapkan. Jadi, dari mana kau berasal?”

“Sebuah pintu tua”

“Pintu tua?” Ia mengelus dagunya, sejenak kemudian raut mukanya berubah masam.

“Kau manusia?” tanyanya. Aku mengangguk, “Ya, aku manusia”

Sejenak kemudian, Ia mengambil mikrofon dari atas panggung dan mulai berbicara di hadapan semua robot, “SEMUANYA DENGARKAN!!! MAKHLUK ITU ADALAH MANUSIA! MAKHLUK YANG MEMBUAT KITA BERAKHIR DI TEMPAT YANG BAHKAN KITA TIDAK TAHU SAMPAI KAPAN KITA AKAN BERADA DISINI. OLEH KARENA ITU... MARI KITA BAKAR DIA”

Semua yang berada di sana berseru-seru, “BAKAR! BAKAR!”

Para robot pun mengambil sebuah benda alumunium yang hampir mirip seperti kompor listrik. Seandainya kompor itu dinyalakan, sesuatu yang berada di atasnya pasti akan hangus terbakar.

“REFA! LARI!!!” Seseorang memanggil namaku dari arah belakang.

Aku menoleh, itu ayahanda. Bagaimana ayahanda bisa tahu?

Tanpa basa-basi, ayahanda langsung menarikku keluar dari ruangan itu. Aku yang kebingungan hanya berlari keluar mengikuti langkahnya.

“HEI! JANGAN KABUR!!”

Beruntungnya, ayahanda telah membekukan pintu itu dengan gelang berwarna biru di tangannya. Dan, kami berhasil kembali ke rumah kami.

Aku dan ayahanda menghela napas pelan. Ayahanda menatapku, seperti meminta jawaban atas apa yang telah kulakukan.

“Mengapa kau pergi kesana Refa?” tanya ayahanda.

“Hanya karena rasa penasaran, ayahanda” jawabku singkat.

“Tanpa seizinku? Beruntung kita selamat. Bagaimana kalau ternyata kau hangus duluan di ruangan itu?”

“Maafkan aku ayahanda, aku berjanji tidak akan mengulanginya kembali. Sekarang, bolehkah aku bertanya?” Aku menatap Ayahanda.

“Apa yang ingin kau tanyakan?”

“ Mengapa ayahanda bisa tahu aku berada di sana? Dan ruangan apakah itu?”

“ Tentu saja karena ayahanda melihatmu pergi. Dan tempat itu adalah para robot hasil karya yang sudah tidak ayahanda pergunakan kembali karena beberapa mesinnya sudah tidak berfungsi dengan baik”

**-END-**

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar