Terakhir kali aku bersuanya sewaktu dia mengembalikan dompetku. Waktu itu kami berdua belum lama lulus SMA. Dia memang teman perempuanku, teman sekelas tepatnya.
“Her, dompetku terjatuh sewaktu aku mendaki Gunung Salak. Bagaimana kamu sampai bisa menemukannya?”
“Aku cuma mengikuti petunjuk dari cacing-cacing penghuni hutan Gunung Salak.”
Teman-teman sekelasku dulu mengejeknya serumpun dengan bangsa cacing. Konon, dia mampu bercakap-cakap dengan cacing. Tapi, aku tak percaya. Termasuk pada penyataannya tadi. Aku lebih suka menyebut faktor kebetulan, biang dompetku berhasil ditemukannya sewaktu dia main-main ke Gunung Salak.
Setelah sekian lamanya waktu berlalu, aku kembali bersua dengannya di sini, di sel tahanan Polres Metro Jakarta Pusat. Kalau bukan karena nama dada bertulis AKBP Haira Nuraida, sepertinya aku susah mempercayai kalau teman SMA-ku ini kini menyandang jabatan kasat reskrim.
Nasib buruk sedang menderaku. Aku dituding polisi menjadi bagian sindikat narkoba. Bermula ketika aku tengah menunggu teman di Taman Suropati, kulihat seorang kakek jatuh terpeleset. Lekas beranjak dari bangku taman, lalu berlari membantu si kakek, namun aksi menolongku keburu didahului orang lain.
Kembali duduk di bangku taman, temanku akhirnya mengontakku lewat ponsel. Aku diminta menemuinya di gerbang taman. Tengah berjalan menuju gerbang taman, sekoyong-koyong lima pria tegap menyergapku. Lantas aku diseret masuk ke dalam mobil, untuk kemudian dibawa ke Polres Metro Jakarta Pusat. Baru aku tahu sebab mereka meringkusku, rupanya di dalam tas ranselku tersimpan sebungkus heroin.
Aku menolak mentah-mentah dituding anggota sindikat narkoba. Kukatakan pada polisi jika tas ransel itu bukanlah milikku. Aku cuma salah ambil saja karena warna, maupun bentuk modelnya sekilas mirip dengan tas ransel punyaku. Namun, polisi tentunya enggan percaya pada kata-kataku.
Sekarang aku baru menyadari kesalahanku. Urung menolong kakek yang terpeleset itu, sepertinya aku tidak duduk di bangku taman sebelumnya. Hanya karena melihat sebuah tas yang mirip dengan tas ranselku di bangku taman lain, aku langsung duduk di sana, bahkan memakainya waktu hendak menemui temanku.
“Ikut aku ke Taman Suropati!”
Tanpa basa-basi dia langsung mengeluarkanku dari dalam sel tahanan. Malam itu juga aku dan dia pergi ke Taman Suropati. Tiba di sana aku diminta menunjukkan bangku taman yang salah diduduki olehku.
Anehnya dia malah kemudian berjalan menuju rerumputan taman, tak jauh dari bangku taman yang buat aku sengsara. Aku tak tahu kenapa dia malah duduk jongkok, kepalanya menunduk ke rerumputan taman, sementara bibirnya komat-kamit. Seperti tengah mengobrol dengan rerumputan.
“Aku minta kamu tetap duduk di bangku taman ini, jangan coba-coba kabur! Paling lambat satu jam lagi aku pasti kembali.”
Tak paham apa yang hendak dilakukannya aku memilih duduk di bangku taman saja. Kurang dari satu jam dia sudah datang kembali ke Taman Suropati. Dia membawa seorang pria dengan kedua tangan diborgol.
“Ini ranselmu?” ujarnya sembari menyerahkan tas ransel warna biru padaku. Setelah kuperiksa memang benar tas ransel milikku.
“Dia kurir narkoba. Waktu disuruh bosnya ambil tas ransel, dia malah ambil tas ransel punyamu yang tertinggal di bangku taman lain.”
Aku mudah memahami penjelasannya, tapi yang sukar kumengerti, bagaimana dia sampai mampu mengembalikan lagi tas ranselku.
“Aku tadi minta petunjuk pada cacing-cacing taman.”
Kelihatannya dia memang serumpun dengan bangsa cacing.
***
Siapakah sosok sebenarnya AKBP Haira itu? Benarkah dia serumpun dengan bangsa cacing? Untuk apa pula dia dihadirkan ke dunia ini? Temukan jawabannya di novel Budak Cacing, masih di Kwikku. Sebuah novel superseru yang memadukan misteri, thriller, serta cinta karya OMIUS 71.