Mal Bulan dan Mal Bintang berdekatan. Jarak kedua mal itu sekitar dua puluh meter. Biasanya orang-orang setelah mengunjungi Mal Bulan juga mengunjungi Mal Bintang, begitu sebaliknya. Kalau hujan mereka harus menyewa payung agar tak kehujanan saat menyeberang.
Sudah satu tahun ini Sumi menyewakan payung. Kalau gerimis, harga sewa payung hanya seribu rupiah. Kalau hujan deras, harga sewa payung dua ribu rupiah. Sumi dan kawan-kawan berharap hujan turun deras dan lama, agar mereka mendapatkan banyak uang.
Tetapi beberapa hari ini Sumi gelisah, karena di antara dua mal itu sedang dibangun jembatan penghubung.
“Aku dengar besok jembatan penghubung itu akan diresmikan Pak Wali Kota,” kata Darsi, temannya, terdengar sedih.
“Berarti kita tidak bisa lagi menyewakan payung?” tanya Sumi.
“Mungkin,” sahut Darsi.
“Lalu kita bagaimana?” tanya Sumi.
“Nggak tahu. Mungkin aku akan jadi pengemis lagi,” sahut Darsi.
Siang itu langit mendung dan terdengar gemuruh berkali-kali, lalu turunlah hujan deras. Sumi dan Darsi segera meraih payung masing-masing, lalu menawarkannya pada orang-orang yang hendak menyeberang. Ada banyak gadis payung, sehingga Sumi dan Darsi harus gesit mencari penyewa.
“Payung!” teriak seorang ibu sambil melambai pada Sumi. Gadis 10 tahun itu bergegas melangkah menuju seorang ibu yang berdiri di depan Mal Bulan.
“Silakan, Bu,” kata Sumi membuka payungnya.
Ibu itu segera menyeberang, sementara Sumi mengikuti di sampingnya.
“Sudah lama menyewakan payung, Nak?” tanya ibu itu.
“Hampir setahun, Bu.”
“Kamu nggak sekolah?”
“Nggak, Bu. Ayah nggak punya beaya.”
“Kalau nanti jembatan penghubung itu sudah jadi, lantas kamu kerja apa, Nak?”
“Nggak tahu, Bu.”
Mereka sampai di Mal Bintang.
“Bagaimana kalau kamu bekerja pada ibu? Kebetulan ibu punya usaha pembuatan gantungan kunci. Kamu bisa menjualnya di sekitar mal ini. Ini kartu nama ibu, dan ini untuk sewa payungmu,” kata ibu itu menyerahkan kartu nama dan selembar uang sepuluh ribu rupiah.
“Terima kasih, Bu. Ini uang kembaliannya, Bu. Delapan ribu rupiah,” jawab Sumi.
“Tidak usah. Ambil saja,” sahut ibu itu tersenyum tulus.
“Terima kasih, Bu, terima kasih ....” Sumi mencium tangan ibu itu karena begitu bahagia.
Ternyata hujan deras berlangsung cukup lama, hampir tiga jam. Sumi dan Darsi mendapatkan banyak uang. Ketika hujan telah reda, dua sahabat itu menghitung penghasilan mereka.
“Aku dapat lima puluh ribu. Kamu dapat berapa, Sum?” tanya Darsi.
“Aku dapat tujuh puluh ribu, Dar,” sahut Sumi tersenyum gembira.
“Alhamdulillah, hari ini kita beruntung sekali, ya, Sum?”
“Ya. Kalau setiap hari begini, kita bisa punya uang untuk sekolah lagi, ya, Dar?”
“Tapi besok kita harus pergi dari sini, Sum,” sahut Darsi mendadak murung.
Sumi terdiam. Ia memandang jembatan penghubung mal. Besok jembatan itu akan mulai digunakan. Meskipun besok hujan deras, tak ada orang yang mau menyewa payung ketika menyeberang. Orang-orang tentu memilih menyeberang melalui jembatan penghubung itu.
“Mungkin ini rezeki terakhir kita sebagai gadis payung,” kata Darsi bertambah murung.
“Semoga kita segera punya pekerjaan lain,” sahut Sumi.
Tanpa sengaja Sumi merogoh saku roknya. Ia teringat pada kartu nama pemberian seorang ibu penyewa payungnya. Seketika Sumi menemukan ide dan tersenyum ceria.
“Aha!” Sumi berseru. “Mulai besok kita akan menjadi gadis penjual gantungan kunci.”
“Apa?” sahut Darsi bengong.
Sumi segera menceritakan idenya. Darsi mengangguk-angguk dan wajahnya pun ceria.
***
Pagi itu begitu cerah. Matahari bersinar hangat. Mal Bulan dan Mal Bintang mulai ramai pengunjung. Di antara orang yang berlalu-lalang di depan mal, tampaklah Sumi dan Darsi berjalan menawarkan dagangan mereka.
“Ayo beli gantungan kunci. Ayo beli. Bagus-bagus modelnya,” seru Sumi dan Darsi. Dua gadis kecil itu tampak gembira menjalani pekerjaan baru mereka. Selamat tinggal gadis payung, selamat datang gadis gantungan kunci.
***SELESAI***