Anak-anak muda di kampung Aryo memang kurang ajar. Semua hal bisa dijadikan bahan tertawaan. Ada suami istri lama menikah tetapi belum punya anak, mereka katakan, “Salah masuk terus, mana bisa hamil?”
Aryo merasa terganggu dengan suara tawa mereka. Sebab kamar Aryo berdekatan dengan gardu ronda tempat anak-anak muda itu mangkal. Aryo sering menutup telinga dengan bantal agar bisa tidur. Bila sudah berkumpul dan tertawa-tawa, anak-anak muda itu suka lupa waktu.
Aryo pernah berniat mengusir anak-anak muda itu, atau setidaknya membatasi jam mengobrol mereka. Tetapi istrinya mencegah. “Melarang anak muda itu jangan secara langsung begitu. Percuma,” kata isteri Aryo.
“Lantas pakai cara apa?”
“Biarkan saja. Lama-lama mereka juga bosan sendiri.”
Itu berarti Aryo akan terus terganggu dengan suara tawa mereka, sampai waktu tak terbatas. Bisa jadi sampai bulan depan, tahun depan, atau sampai anak-anak muda itu menikah.
“Kamu juga begitu, kan? Waktu masih lajang suka keluyuran malam. Tetapi setelah menikah denganku, hampir-kampir kamu tak pernah keluar malam,” kata istri Aryo.
Aryo selalu kalah bila berdebat dengan istri. Aryo mencoba mengatasi kekesalannya dengan teknik lain. Ia mencoba mengakrabkan telinga untuk menerima tawa cekakakan mereka. Lumayanlah. Kuping Aryo mulai terbiasa. Apalagi istrinya suka meledek Aryo. “Pengarang kok mengasingkan diri. Seharusnya buka telinga lebar-lebar, biar dapat ide.”
Suatu malam, Aryo memasang telinga baik-baik. Tawa anak-anak muda di gardu itu memasuki gendang telinga Aryo tanpa hambatan. Mereka sedang membicarakan –tepatnya menertawakan—Mbah Marjo. Kata seorang dari mereka, Mbah Marjo adalah pengkhianat!
Edan! Mereka berani mengatakan Mbah Marjo, mantan pejuang dan anggota LVRI itu sebagai pengkhianat? Aryo makin tertarik dan menajamkan telinga. Lagi, seorang dari mereka berkata, “Pejuang apa? Siapa tahu saja Mbah Marjo ngumpet di kolong ranjang, saat teman-temannya menyerbu markas kompeni.” Sedetik kemudian, tawa teman-temannya meledak memecah keheningan malam. Seseorang dari mereka sampai terbatuk-batuk.
Aryo masih ingin mendengarkan obrolan mereka, tetapi istrinya terjaga, minta diantar ke belakang. Terhadap sifat penakut sang istri, Aryo suka meledek, “Itu akibatnya kalau suka ngerumpi.”
***
Esoknya, tersiar kabar ada perkelahian sesama anak muda. Parmin, cucu Mbah Marjo, berkelahi dengan Trisno, salah satu anak muda yang suka nongkrong di gardu ronda. Permasalahan sampai ke tangan Pak RT. Ketika bertemu Pak RT, Aryo bertanya, “Apa masalahnya, Pak RT?”
“Biasa, Pak. Darah muda, suka tersinggung.”
Pak RT bercerita bahwa, Parmin tidak terima kakeknya dikatakan sebagai pengkhianat oleh Trisno. Aryo heran, bagaimana Parmin bisa tahu, padahal anak muda itu tidak ada di gardu semalam. Aryo yakin itu, karena semalam ia tak mendengar suara atau tawa Parmin. Berarti ada pengkhianat yang membocorkan obrolan mereka.
Kabar perkelahian itu ternyata cepat menyebar sampai ke sekolah tempat Aryo mengajar. Pak Sugito, kepala sekolah, sempat mengeluh pada Aryo. “Nasionalisme sudah luntur dari dada anak-anak muda. Itu tugas Pak Aryo sebagai guru sejarah untuk membenahinya.”
Aryo tak ingin berdebat. Ia hanya mengangguk seraya berkata, “Akan saya usahakan, Pak.”
Tetapi tak mungkin bagi Aryo memberi ceramah tentang nasionalisme pada Parmin dan Trisno di ruang kelas, karena mereka bukan murid Aryo lagi. Mereka sudah lulus SMA dan seperti anak muda lainnya, mereka sedang dalam proses pencarian jati diri. Pendek kata, mereka masih mencari pekerjaan alias menganggur.
Waktu berpapasan dengan Parmin di jalan, Aryo bertanya kabar kakeknya. Katanya, Mbah Marjo sangat terpukul dengan cap pengkhianat yang cepat tersiar seperti asap tertiup angin.
“Kakek saya bersumpah ikut gerilya bersama teman-temannya. Kakek saya benar-benar pejuang, Pak,” kata Parmin dengan mata menyala.
“Dik Parmin sabar saja,” sahut Aryo. Sebagai orang beragama, Aryo tak mau berburuk sangka. Sebagai makhluk sosial, Aryo wajib membesarkan hati orang yang merasa terhina.
Beberapa hari berlalu, Aryo mendengar kabar keadaan Mbah Marjo mendekati titik akhir. Kalau semula Mbah Marjo masih bisa berjalan meski sangat lamban dengan bantuan tongkat, sekarang ia hanya bisa berbaring. Bila semula mantan pejuang itu masih bisa bicara sedikit-sedikit, sekarang hampir tak mampu bersuara. Mulutnya melompong seperti hendak bersuara, tetapi yang keluar hanya desisan sangat pelan.
Orang-orang termasuk Aryo datang menjenguk Mbah Marjo. Meminta maaf bila mereka, termasuk Aryo, punya kesalahan padanya. Semacam ucapan selamat jalanlah, tetapi secara halus. Sayang –ini yang membuat orang-orang geram—Trisno dan teman-temannya tak datang.
Kemudian Mbah Marjo wafat. Aryo datang melayat dan mengantarnya hingga ke pekuburan. Sebilah bambu runcing setinggi sekitar satu meter tertancap di dekat nisan Mbah Marjo. Itulah satu-satunya bambu runcing di pekuburan kampung Aryo.
Beberapa hari kemudian terjadi pencurian di kampung Aryo. Kebetulan malam itu Aryo giliran jaga, dan ia ikut mengejar maling itu. Bersama tiga peronda lainnya, Aryo mengejar maling itu yang lari ke arah pekuburan. Mereka berpencar. Seseorang berteriak melihat maling itu. Aryo dan dua peronda lainnya menuju arah teriakan. Cahaya senter berkelebat ke berbagai arah.
“Ke sana, arah makam Mbah Marjo,” kata peronda yang berteriak tadi.
Aryo membatin, bodoh sekali maling itu, karena lari ke arah makam Mbah Marjo yang dekat jurang. Maling itu akan terpojok. Tak berapa lama, terdengar jeritan memanjang, melengking, memilukan.
“Innalillahi ...,” seru seorang peronda.
Mereka terpana. Di depan mereka tampak seseorang berpenutup kepala –hanya terlihat mata dan hidung— terkulai dengan mata melotot menghadap tanah. Dada hingga punggungnya tertembus bambu runcing. Satu-satunya bambu runcing di pekuburan itu. Bambu runcing yang tertancap di dekat nisan makam Mbah Marjo – mantan pejuang yang dicap pengkhianat oleh sekolompok anak muda kurang ajar.
***SELESAI***