Setelah bertahun-tahun menampilkan kemahirannya dalam sebuah rombongan sirkus, Kimba kembali ke hutan. Singa jantan itu telah tua. Pemimpin sirkus menganggapnya tak lagi lincah, sehingga memutuskan untuk mengembalikannya ke hutan.
Di hutan, Kimba bertemu teman-teman lama. Ada jerapah, gajah, banteng, burung-burung, dan lainnya. Mereka menyambut gembira kedatangan Kimba, singa yang gemar bertualang di masa kecil.
“Ini semua salahku,” kata Duma, singa jantan sahabatnya. “Aku mengajakmu berjalan jauh, lalu sekelompok orang menangkapmu. Kita masih kecil saat itu, aku tak mampu menolongmu.”
“Lupakanlah, Duma,” jawab Kimba. “Aku tahu, kau telah mencoba menolongku, tapi jumlah orang itu terlalu banyak untuk singa kecil seperti kita. Sekarang, kita berkumpul lagi, itu yang penting. Oh, aku sungguh senang bisa bertemu denganmu lagi, Duma. Kapan kita bertualang lagi?”
“Mungkin lain waktu,” sahut Duma. “Sekarang ceritakan petualanganmu bersama rombongan sirkus, yang aku yakin tentu sangat menarik.”
Kimba bercerita bahwa dirinya tiap hari harus menghibur penonton. Ia berjalan dengan dua kaki belakang seperti beruang, melompat dari balok kayu ke balok bayu lainnya, berjalan di sepotong kayu yang panjang, serta melompati lingkaran api yang berkobar-kobar.
“Melompati kobaran api?” seru Duma. “Mengerikan sekali, aku tak sanggup melakukannya.”
Begitu pula binatang-binatang lain merasa ngeri mendengar cerita Kimba. Mereka, binatang sekuat apapun, akan takut bila melihat api. Tetapi, Kimba bermain dengan api setiap hari, sungguh mengagumkan!
“Kau sungguh hebat, Kimba,” kata Duma.
Di langit, tampak Goga, seekor burung gagak terbang mendekati mereka.
“Kabar buruk apa lagi yang dibawa Goga?” tanya Duma.
“Bagaimana kau tahu Goga membawa kabar buruk?” tanya Kimba.
“Itu tugasnya. Kabar baik dibawa Gudi si merpati, kabar buruk dibawa Goga,” jawab Duma.
Goga telah mendarat, bertengger di sebuah batu besar.
“Gaaakk, gaakk. Kabar buruk, kabar buruk,” kata Goga. “Sekelompok pendaki membuat perapian. Mereka telah pergi, tetapi perapian mereka masih menyala, dan angin bertiup kencang sore ini.”
Kemudian ada yang berseru, “Lihat, ada asap!” Itu suara Jeri si jerapah yang berleher panjang, sehingga ia mampu melihat sekeliling hutan dengan lebih baik. Di sana, di lereng gunung, tampak asap putih membumbung tinggi. Jelas, telah terjadi kebakaran di lereng gunung itu.
Mereka yang berkumpul merasa cemas. Mereka takut pada api, dan bersiap untuk menyelamatkan diri.
“Ada yang terjebak di tengah kobaran api!” seru Agel, si elang yang mampu melihat dari jarak jauh. “Kurasa itu Rabit si kelinci. Kelinci jantan itu pasti mengikuti kelompok pendaki. Rabit suka makan kacang, dan para pendaki sering membuang sisa-sisa kacang dalam plastik yang mereka bawa.”
“Oh, kasihan sekali. Tak ada yang mampu menyelamatkan Rabit,” kata Duma cemas.
“Aku akan menyelamatkannya,” sahut Kimba, lalu segera melompat dan berlari menuju lereng gunung.
“Kimba, jangan nekad!” teriak Duma.
Kimba terus berlari hingga mendekati tempat yang terbakar. Api menyala membakar semak-semak di sekeliling tempat itu, membentuk lingkaran. Kimba mendengar suara dari dalam lingkaran api itu. Ia mengelilingi tempat itu, mencoba mencari bagian yang tidak terbakar. Namun, sekeliling tempat itu tertutup oleh api. Tak ada jalan masuk.
“Tolong, tolong, tolong aku!” suara itu terdengar lagi. Itu suara Rabit.
Kimba merundukkan badan, keempat kakinya bergerak-gerak membuat ancang-ancang. Sepasang matanya menatap kobaran api di depannya, ia sedang mengukur jarak untuk melompat. Lalu, detik berikutnya disertai auman, Kimba melompat menerjang kobaran api. Ia mendarat di tengah tempat yang terbakar itu, melihat Rabit meringkuk ketakutan di rerumputan. Sebentar lagi tempat itu akan terbakar juga, karena angin yang bertiup membawa api ke mana-mana.
“Bertahanlah, kawan,” kata Kimba, lalu mencengkeram tengkuk Rabit dengan mulutnya. Kimba melompat, menerjang kobaran api, keluar dari tempat itu. Kimba terus berlari menuruni lereng gunung, hingga sampai di tempat para binatang berkumpul.
“Oh, syukurlah kau kembali, Kimba,” kata Duma.
Para binatang bersorak gembira dan memuji keberanian Kimba. Mereka menatap ke arah lereng gunung, asap masih mengepul ke angkasa. Mereka semua sedih, tetapi mereka hanya mampu berharap semoga kebakaran hutan itu tidak meluas.
Awan hitam bergerak di atas gunung. Para binatang tersenyum.
“Semoga hujan segera turun,” kata Kimba.
Tak lama kemudian hujan turun. Api di lereng gunung padam, asap di angkasa perlahan-lahan menghilang disapu hujan. Kimba dan teman-teman kembali ke rumah masing-masing. ***
Batang, Jawa Tengah, 2023