Flash Fiction
Disukai
0
Dilihat
541
Sandikala
Drama

"Dede, uih! Sareupna!"

Begitulah masih terngiang teriakan Emak jika aku tidak kunjung pulang bermain hingga menjelang waktu magrib. Katanya, nanti diculik Sandekala.

Anak-anak seusiaku waktu itu tentu sangat takut dengan sosok Sandekala. Dia suka menculik anak-anak kecil nakal yang masih saja bermain di waktu senja.

Dari dongeng yang selalu diceritakan nenek, sesaat setelah melakukan sembahyang magrib dan mengaji, Sandekala ini bisa terbang. Membawa dan menyembunyikan anak-anak kecil untuk menjadi budaknya.

"Itu si Adman pernah ditinggal di pohon kelapa. Gak bisa turun," cerita nenek kala itu, menceritakan siapa saja yang pernah menjadi korban kejahilan Sandekala.

Katanya juga, ada yang sampai tidak pernah ditemukan sama sekali. Hilang. Begitu menyeramkannya dongeng Sandekala waktu itu.

Pergantian siang ke malam adalah waktu yang sangat disukai makhluk-makhluk sejenis Sandekala. Anak-anak pembangkang, akan mendapatkan mamala jika tidak segera pulang.

Namun, tidak ada Sandekala di kota!

Aku sudah membuktikannya. Tidak ada yang diculik atau disembunyikan di pohon kelapa. Sandekala justru kehilangan rumahnya, sebab pohon-pohon berganti dengan gedung-gedung yang mencabik-cabik langit senja.

Di kota, yang diculik dan disembunyikan menjelang magrib adalah kemanusiaan. Jika pulang 'teng go', maka menjadi bahan omongan di kantor. Jika sakit dan izin pulang duluan, gaji dipotong tanpa kasihan.

Tidak ada kasus orang hilang karena ulah Sandekala. Yang ada, mereka kehilangan hidupnya karena keserakahan beberapa orang yang memiliki kekuasaan untuk mengobrak-abrik aturan seenak jidat.

Begitu banyak ketimpangan. Sebagian bersandar santai sambil tertidur pulas di kursi rapat, bermain slot, bahkan menyusun aturan-aturan baru yang perlahan membunuh manusia-manusia yang tidak pernah didengarkan suaranya.

Sementara itu, anak-anak kecil di lampu merah, sibuk mengasongkan plastik bekas makanan ringan kepada pengguna jalan sembari memainkan ukulele dengan nada sembarang. Atau masih sibuk memungut botol dan gelas plastik untuk dikilo ke pengepul rongsokan.

Pedagang kaki lima juga sibuknya minta ampun. Tidak kenal siang atau malam. Terus bekerja karena kabarnya pemerintah akan menaikkan tarif pajak yang terasa kian membabi-buta.

"Ya namanya mereka punya duit, aturan pun dibeli, Mas," ujar tukang pecel di pinggir jalan yang kuhampiri beberapa hari lalu selepas pulang kerja.

"Orang kecil kayak kita mah ya, gak punya apa-apa. Punya suara pun sekarang gak ada harganya," sahut pedagang kwetiau di sebelahnya.

Aku mengangguk setuju. Memang seperti itulah kenyataannya. Jika sudah begini, rasanya ingin kembali menjadi anak kecil saja yang ditakut-takuti hantu senja.

Perjalanan pulang selalu menjadi waktu yang melelahkan. Waktu yang seharusnya sudah masuk sembahyang, harus dihabiskan untuk berdiri di bus dan macet-macetan.

Mungkin ini maksud Emak, yang menyuruh anak-anaknya pulang sebelum magrib, agar dapat merasakan nikmatnya bercengkerama bersama Tuhan di bilik kamar. Menyeimbangkan waktu untuk bermain-main dengan dunia fana dan mempersiapkan diri untuk menemui pemilik semesta.

Membatasi siang dan malam. Menyekat waktu bekerja dan istirahat. Sebab setelah dewasa, ada yang lebih seram dari Sandekala. Mereka mencuri waktu, juga merampas hak sebagai manusia dan rakyat dari sebuah negara yang katanya sudah merdeka.

***

Uih: Pulang

Sareupna: Istilah waktu yang digunakan masyarakat Sunda untuk menunjukkan waktu menjelang magrib atau saat matahari terbenam.

Mamala: Bahaya; Keburukan; Malapetaka

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Drama
Rekomendasi