Pohon-pohon mangga itu rimbun dan berbuah lebat. Beberapa mangga berada dekat jendela kamar Risa. Tangan Risa bisa menjangkau mangga yang siap panen itu. Tapi tidak!
Pohon mangga itu milik Bu Evalia. Rumah mereka bersebelahan, hanya terpisah kebun. Di kebun itu Bu Evalia menanam beberapa pohon mangga harum manis, lengkeng, dan singkong. Salah satu pohon mangga tumbuh rimbun, dahannya begitu dekat dengan jendela kamar Risa.
Musim mangga ini Risa belum makan mangga. Kata ibu, harga mangga masih mahal, karena belum panen raya. Mungkin bulan depan harga mangga sudah turun, saat itulah ibu akan membelikan mangga buat Risa. Bulan depan? Ah, lama sekali.
Mengapa tidak sekarang saja? Di luar jendela kamar Risa ada mangga yang matang di pohon. Petik saja satu mangga di malam hari, tak ada yang tahu. Toh, Bu Evalia sedang pergi ke luar kota.
Bu Evalia seorang dosen, tinggal sendirian. Kata ibu, usia Bu Evalia masih 30 tahun tapi sudah lulus S3 dan bergelar Doktor di bidang Sosiologi. Beliau sering jadi pembicara di berbagai seminar. Wah, hebat!
Kata ibu, sejak kemarin Bu Evalia pergi ke luar kota untuk mengisi beberapa seminar selama seminggu. Bu Evalia memang selalu pamit pada ibu bila akan bepergian. Maklum, ibu adalah tetangga terdekat Bu Evalia.
Setiap sore ketika hendak menutup jendela kamar, Risa selalu menatap buah mangga itu. Lama-lama, Risa tidak tahan. Malam hari ketika ibu dan ayah sudah tidur, diam-diam Risa membuka jendela kamarnya. Hati-hati sekali ia membukanya, agar tidak berderit.
Risa menjulurkan tangan kanannya, satu mangga matang telah digenggamnya. Tinggal petik, selesai. Tapi, tidak! Bagaimana nanti kalau Bu Evalia pulang dan mengetahui buah mangganya berkurang satu? Mangga yang berada dekat jendela kamar Risa.
“Tidak, tidak!” gumam Risa. “Meski tidak ada orang yang melihat, tetapi Tuhan melihatku. Tidak! Aku tidak mau menjadi pencuri!”
Anak kelas 5 SD itu pun batal memetik mangga. Ia bergegas menutup jendela kamar, lalu membaringkan diri ke ranjang. Tidur.
***
Suatu sore, Risa melihat seorang gadis berambut lurus sebahu berada di kebun Bu Evalia. Gadis itu memegang mangga yang siap panen.
“Hei, jangan petik mangga itu! Itu milik Bu Eva!” seru Risa dari jendela kamarnya.
“Oh, maaf. Saya hanya melihat-lihat saja, kok,” sahut gadis itu, lalu pergi.
Dua hari kemudian, saat malam, Bu Evalia pulang. Ia bertandang ke rumah Risa. Ibu, ayah, dan Risa menemuinya di ruang tamu. Bu Evalia membawa oleh-oleh sekeranjang apel merah dan sekeranjang mangga harum manis.
“Terima kasih, Bu Eva,” kata Risa. Akhirnya kesampaian juga makan mangga.
“Sama-sama, Nak Risa.”
“Oh, ya, Bu Eva, tempo hari ada orang mau mencuri mangga Bu Eva. Untung Risa melihatnya,” kata Risa.
“Benarkah? Apa orangnya gadis berambut lurus sebahu?” tanya Bu Evalia.
“Kok Bu Eva tahu?”
“Itu Evelyn keponakan saya,” sahut Bu Evalia tersenyum. “Kemarin Evelyn telepon, cerita tentang kamu. Evelyn itu sedang kuliah Manajemen, sedang belajar bisnis. Dia coba-coba jadi tukang tebas. Dia membeli mangga saya. Kemarin itu dia sedang mengecek pohon mangga, karena akan segera dipanen.”
“Oh, begitu. Maaf, saya nggak tahu, Bu Eva,” kata Risa, pipinya memerah malu.
Ibu, ayah, dan Bu Evalia tersenyum.
***
Beberapa hari kemudian datang sebuah mobil bak terbuka. Seorang lelaki setengah baya turun dari mobil itu, dan seorang gadis berambut lurus sebahu. Lelaki itu lalu memetik mangga-mangga di kebun Bu Evalia.
Gadis itu memetik tiga buah mangga di dekat jendela kamar Risa.
“Buat kamu, adik cantik,” kata gadis itu.
“Buat saya? Tapi ...,” sahut Risa ragu. Ia teringat telah membentak gadis itu beberapa hari lalu.
“Saya mengerti. Tante Eva sudah cerita. Terima kasih ya karena kamu telah menjaga pohon-pohon mangga ini,” kata gadis itu.
Risa lega. Gembira menerima tiga mangga itu.
“Terima kasih, Tante Evelyn,” kata Risa tersenyum ceria. Ah, musim mangga yang sangat berkesan.
***SELESAI***
Cerita ini pernah dimuat di majalah Bobo Nomor 03/2023, tanggal 20 April 2023.