Hari ini pelajaran menggambar. Lina dan murid-murid kelas V SD Tunas Bangsa berseru gembira. Mereka mengeluarkan buku gambar dan krayon masing-masing. Bu Eny menugaskan mereka untuk menggambar bebas. Setengah jam kemudian, mereka mengumpulkan gambar kreasi masing-masing.
Ketika mengamati gambar laut dan matahari, Bu Eny segera memanggil Lina.
“Mengapa matahari hitam? Bukankah matahari itu merah atau kuning?” tanya Bu Eny.
“Mengapa matahari harus merah atau kuning, Bu Guru?” Lina balik bertanya.
“Begitulah seharusnya. Matahari harus berwarna merah atau kuning, semua orang tahu itu. Apakah kamu pernah melihat matahari berwarna hitam?” tanya Bu Eny.
“Tapi kata Paman Haris, matahari berwarna hitam kalau terluka. Kata Paman Haris, matahari tidak harus merah atau kuning. Kata Paman Haris.....”
“Cukup!” sergah Bu Eny dengan mata melotot. “Di kelas ini kamu harus mengikuti aturan yang saya berikan. Matahari harus berwarna merah atau kuning! Paham?”
Lina menundukkan kepala.
***
Sore, sepulang sekolah, Lina berkunjung ke sanggar lukis Paman Haris. Paman Haris menyambut dengan senyum lebar, tetapi Lina malah cemberut.
“Lina kesal, Paman. Lina dapat nilai nol untuk pelajaran menggambar,” lapor Lina.
“Benarkah? Kamu menggambar apa?” tanya Paman Haris.
Lina menunjukkan kertas bergambar laut dan matahari hitam karyanya. Paman Haris mengamati gambar itu, lalu tersenyum.
“Bu Eny pasti tidak setuju karena kamu menggambar matahari hitam?” tanya Paman Haris.
Lina mengangguk.
“Paman mengerti perasaanmu,” kata Paman Haris mengusap kepala Lina. “Tetapi maaf, itu urusanmu dengan Bu Guru. Paman tidak mau ikut campur. Sekarang kita bahas urusan kita saja, oke? Kamu siap untuk belajar melukis, kan?”
“Siap, Paman,” kata Lina asal menjawab. Cemberut di bibirnya belum sepenuhnya hilang.
“Kamu boleh menggambar apa saja. Lakukanlah,” perintah Paman Haris.
Lina menatap kanvas di depannya. Tangannya telah memegang palet dan kuas. Beberapa saat ia hanya terdiam, namun beberapa saat kemudian tangannya sigap menggoreskan cat minyak ke kanvas.
Sret! Sret! Garis melintang, melengkung, tanda silang, dan beragam bentuk garis lainnya segera tertoreh di kanvas. Bersemangat sekali Lina melukis. Beberapa saat kemudian ia pun berhenti melukis.
Paman Haris mengamati lukisan karya Lina.
“Paman melihat ada kejujuran dalam lukisanmu ini. Garis-garis yang kamu buat ini tampak tegas, murni keluar dari hatimu yang bergejolak. Lina, kamu telah melakukan hal yang luar biasa. Lukisan ini bagus sekali, sangat bagus!” kata Paman Haris berapi-api.
Lina melongo. Lukisan berupa garis-garis tak menentu seperti itu disebut lukisan bagus?
“Paman akan menyimpan lukisanmu ini. Kelak, lukisanmu ini bisa berharga jutaan bahkan milyaran rupiah,” kata Paman Haris.
Lina masih melongo, tidak mengerti yang dibicarakan Paman Haris.
“Lina pusing, Paman. Lina pulang saja, ya, Paman?”
Paman Haris tertawa.
***
Hari-hari berlalu. Hari ini pelajaran menggambar lagi. Bu Eny meminta murid-murid menyiapkan buku gambar dan krayon masing-masing. Tema kali ini adalah menggambar pemandangan alam.
Lina menggambar sawah dan gunung. Tak ada matahari hitam.
Bu Eny mendekati Lina.
“Matahari hitamnya mana, Lina?” tanya Bu Eny lembut dan tersenyum.
Lina melirik sekilas Bu Eny.
“Lina tidak mau berdebat. Lina tidak mau kesal lagi. Lina tidak mau ....”
“Hei,” Bu Eny memegang bahu Lina. “Maafkan Bu Guru, ya? Tidak seharusnya Bu Guru memberimu nilai nol. Bu Guru telah bertemu dengan pamanmu, tempo hari di toko buku. Bu Guru kini mengerti, tak ada gambar jelek, semua gambar bagus tergantung sudut pandang masing-masing. Itu yang Bu Guru pelajari dari pamanmu. Kamu bisa mengerti, kan, Lina?”
Lina tersenyum, mengangguk, lalu meneruskan menggambar. Ada bulatan matahari.
“Itu matahari hitam?” tanya Bu Eny.
Lina menggeleng, lalu memulas bulatan matahari itu dengan krayon kuning.
“Mataharinya tidak terluka. Mataharinya sedang bahagia,” kata Lina.
“Selamat bahagia, matahari,” ucap Bu Eny memandang gambar buatan Lina.
Murid dan guru itu saling berpandangan, lalu tersenyum bersama. Lina tidak kesal lagi pada Bu Eny.
***SELESAI***
Cerita ini pernah dimuat di majalah Bobo Nomor 16/2023, tanggal 20 Juli 2023.