Pak Wage memiliki seekor burung nuri bernama Pele. Pak Wage merawat Pele dengan baik, memberinya makan tiap hari, dan memandikannya secara teratur. Suatu hari Pak Wage membeli lagi seekor nuri yang diberi nama Maradona.
“Hai, namaku Maradona,” kata Maradona mengenalkan diri dari dalam sangkarnya yang berwarna biru.
“Namaku Pele. Aku senang, akhirnya Pak Wage memberiku teman,” jawab Pele dari dalam sangkarnya yang berwarna hijau.
“Sejak kapan kamu dipelihara oleh Pak Wage?” tanya Maradona.
“Sudah cukup lama. Bagaimana denganmu, sebelumnya kamu dipelihara oleh siapa?”
“Beberapa orang telah memeliharaku. Pemelihara terakhirku bernama Pak Kliwon, sampai akhirnya aku dibeli Pak Wage,” jelas Maradona.
“Kuharap kau senang di sini, karena Pak Wage sangat baik,” kata Pele.
“Semoga. Meski sebenarnya aku bosan selalu berada dalam sangkar. Aku ingin sekali hidup di alam bebas,” sahut Maradona.
***
Seperti biasa, setiap pagi Pak Wage memberi makan burung peliharaannya dengan kacang hijau. Pele dan Maradona mematuk-matuk kacang hijau itu dengan bersemangat. Sarapan yang lezat.
Pak Wage tersenyum melihat dua burung peliharaannya itu tampak sehat. Ia menjentik-jentikkan jemarinya dan bersiul menirukan suara burung. Pak Wage tampak gembira.
Tiba-tiba terdengar dering telepon dari dalam rumah. Pak Wage bergegas masuk. Tanpa sadar Pak Wage telah melupakan sesuatu.
“Lihat,” kata Maradona, “Pintu sangkarmu dan sangkarku terbuka. Pak Wage lupa menutupnya.”
“Ya, aku melihatnya,” sahut Pele tenang.
“Tunggu apa lagi. Ayo kita pergi,” ajak Maradona.
“Kau saja yang pergi. Aku tak mau,” jawab Pele.
“Ada apa denganmu, kawan? Semua burung ingin terbebas dari sangkar. Ayo, kita terbang ke alam bebas,” desak Maradona.
“Aku tak mau,” sahut Pele bertahan.
“Terserah kamulah,” kata Maradona, lalu keluar dari sangkar dan terbang dengan cepat.
***
Maradona terbang meliuk-liuk di angkasa. Ia sangat gembira. Untuk pertama kalinya ia bisa terbang di alam bebas. Dari angkasa ia dapat melihat pemandangan yang indah. Pohon-pohon, sawah, sungai, ah, sungguh menyenangkan.
Setelah puas terbang, Maradona segera hinggap di dahan sebuah pohon. Ia beristirahat sejenak untuk memulihkan tenaga. Ia berkicau menandakan hatinya sedang bahagia. Ia melihat beberapa burung terbang melintas.
“Hei, kawan. Cepat pergi dari sini. Selamatkan dirimu!” kata seekor burung dekukur sambil terbang.
Maradona tak mengerti. Mengapa ia harus pergi?
Tiba-tiba ... Jret! Daun di dekat Maradona hinggap tiba-tiba berlubang. Maradona kaget. Ia memandang ke bawah. Tampak seorang pemuda sedang membidikkan senapan ke arah Maradona. Pemburu! Ada pemburu bersiap menembak Maradona.
Seketika Maradona terbang cepat tak tentu arah. Setelah merasa aman, ia hinggap di sebuah pohon untuk menenangkan diri.
Dengan sisa keberaniannya, Maradona kembali terbang. Ia ingin pulang ke rumah Pak Wage. Setelah bertanya pada beberapa burung yang dijumpainya, akhirnya pada sore hari Maradona melihat rumah Pak Wage.
Saat itu Pak Wage sedang bersiul-siul di dekat sangkar Pele. Maradona segera terbang turun, lalu hinggap di bahu Pak Wage. Bapak itu kaget, tapi lalu tersenyum gembira. Pak Wage memasukkan Maradona ke sangkarnya yang tadi ditinggalkannya.
“Mengapa kau kembali?” tanya Pele.
Maradona menceritakan peristiwa yang dialaminya.
“Sudah kuduga, kau akan kembali. Karena aku juga pernah mengalaminya. Alam bebas membuatku terancam. Namun di sini, di sangkar yang membatasi gerakku, inilah tempat teraman bagiku,” kata Pele.
“Kau benar, inilah tempat teraman bagi kita, “ sahut Maradona lalu berjanji tidak akan kabur lagi, meski pintu sangkarnya terbuka sepanjang waktu.
***SELESAI***