Flash Fiction
Disukai
0
Dilihat
419
The Lost Memory
Drama

Ayah pernah bertanya padaku, apakah aku punya cita-cita yang ingin kucapai? Maka aku menjawab, tentu saja ada. Aku ingin menjadi seorang dokter. Aku ingin menolong banyak orang yang sakit. Ketika mendengar jawabanku saat itu, Ayah tersenyum.

Itu adalah salah satu dari beberapa momen indah antara aku dengan Ayah. Setelah beberapa waktu berlalu, kehadiran Ayah perlahan menghilang dari hidupku. Ayah tak ada lagi disampingku. Menemaniku bermain, mengajakku jalan-jalan, atau sekadar duduk di teras rumah sambil memakan camilan dan minum kopi pahitnya.

Aku menyeka sudut mataku yang berair. Kemudian, memasukkan foto Ayah ke dalam koperku. Sudah genap 5 tahun aku bekerja di Inggris. Negara yang juga sering disebut sebagai The Black Country. Dan hari ini aku memutuskan untuk kembali ke Indonesia. Lebih tepatnya ke Jakarta. Sudah sejak lama aku memendam rasa rindu pada Ayah. Aku berencana akan mengunjungi makamnya setelah tiba disana.

Hari itu, hujan turun dengan derasnya begitu aku menjejakkan kaki di kota kelahiranku. Ketika tiba di rumah lamaku, Ibu menyambutku dengan hangat. Dan seseorang yang nyaris aku lupakan selama 5 tahun ini, dia juga datang. Menyambutku dengan senyuman terhangatnya yang tak pernah kulihat lagi dalam 5 tahun belakangan.

"Clar, welcome back!" katanya. Masih dengan senyuman yang sama.

"Thank you...." Suaraku terhenti, penuh keraguan. Aku menatapnya. Merasa bersalah karena aku benar-benar melupakan namanya.

"Lio." sambungnya. Ia masih saja tersenyum. Kupikir, ia akan marah dan memasang wajah masam.

Lalu, Ibu mengajakku masuk ke kamar. Meletakkan semua barang bawaanku dan menyuruhku untuk segera ke ruang makan untuk makan malam bersama.

"Kau tidak akan pergi lagi, kan?" tanya Ibu. Aku tak langsung menjawab. Justru aku sibuk memperhatikan sekitar. Lelaki bernama Lio itu tiba-tiba menghilang. Dia tak ikut makan malam bersamaku dengan Ibu. Lantas, kemana dia pergi?

"Ibu, kemana Lio?" tanyaku heran.

Ibu seketika menatapku dengan bingung. Gurat wajahnya tak bisa aku deskripsikan.

"Lio siapa?" Ibu bertanya balik. Aku mengernyit dalam. Menyapu sekeliling ruang makan dengan indera penglihatanku. Aku bangkit, karena tak menemukan Lio disana, aku bergerak ke arah ruang tamu. Kosong. Aku berlari keluar rumah. Bahkan panggilan Ibu tak kuhiraukan sama sekali.

"Lio!" seruku di halaman depan rumah. Hening. Hanya ada desau angin malam yang menyapu lembut permukaan wajahku, dan suara jangkrik yang bersenandung di balik semak-semak di pekarangan rumahku.

"Clar!" panggil Ibu seraya menghampiriku. Aku hendak berjalan keluar dari pekarangan rumah. Mencari sosoknya yang sebenarnya menyadarkanku akan arti sebuah kerinduan. Tapi, tangan Ibu dengan cepat menahanku. Aku tersentak, lalu menoleh ke belakang.

"Jika yang kau maksud adalah Lio sahabatmu. Dia sudah tidak ada." ujar Ibu dengan suaranya yang memelan di ujung kalimatnya. "Dia sudah meninggal 5 tahun yang lalu."

"A-apa maksud Ibu?" Aku tergugu. "Barusan dia ada disini. Di rumah kita. Aku berbicara dengannya di depan rumah tadi, saat Ibu sedang di dalam."

Aku melihat Ibu mendesah. Kerutan di wajahnya semakin jelas. Tanda-tanda kelelahan begitu terlihat di wajahnya. Semakin aku melihat wajah Ibu, memori aneh tiba-tiba menelusup dan menyerang kesadaranku disaat bersamaan. Aku terkesiap.

Potongan demi potongan ingatan masa laluku menjadi satu. Satu per satu, ingatan itu menghantamku dengan kerasnya. Berbagai macam suara, tawa dan tangis menjadi satu di dalam otakku. Aku meringis sambil memegang kepalaku. Ibu sontak terlihat khawatir.

"Kapan kau akan pergi?" tanyaku. Aku menoleh pada sosok itu. Pemandangan indah di puncak gunung yang terhampar di depan kami, tak surut membuatku ingin mengalihkan pandangan darinya.

"Saat kau sudah tidak membutuhkanku lagi, maka aku akan pergi." jawabnya. Ia tak menoleh. Tapi, aku bisa melihat sudut bibirnya yang membentuk garis simetris. Hal yang selalu membuat jantungku berdentum-dentum keras.

Aku terhenyak. Tersadar dari ingatan yang diputar di otakku barusan. Dentuman keras dan suara decit rem mobil memenuhi kepalaku. Ingatan kecelakaan 5 tahun lalu yang diriku, Ayah dan Lio alami menghantam kesadaranku bertubi-tubi.

Tanganku bergetar. Pun tubuhku luruh ke permukaan tanah. Ingatan yang selama ini selalu aku lupakan. Ingatan tentang Ayah dan Lio. Ternyata, alam bawah sadarku menguburnya dalam-dalam. Itu sebabnya, aku bisa hidup sampai detik ini. Meski kenyataannya, aku masih membutuhkan mereka. Membutuhkan Ayah. Membutuhkan Lio.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar