Ia memandangku dengan kedua matanya.
“Mau makan apa?” tanyanya.
Kualihkan pandanganku dari matanya ke daftar menu. “Apa ya? Aku belum pernah makan di sini. Ada saran?”
“Hmm... Coba kita liat...” ucapnya sambil mengambil daftar menu itu dari tanganku. “Kalo aku sih seringnya pesen Sup Seafood Pedas. Cobain deh. Enak lho?”
“Yah... Aku gak suka seafood.”
“Kalo gitu cobain Cah Kangkung.”
“Aku gak suka sayur.”
“Sate Kambing?”
“Gak suka daging kambing.”
Ia menyipitkan matanya. “Jadi kamu mau makan atau enggak?”
Aku tertawa. “Iya, iya... Aku mau... Nasi Goreng Ayam aja deh.”
“Ya ilah... Jauh-jauh ke sini tetep aja makan nasgor.”
“Yang lainnya aku gak doyan...”
“Ya udah.”
Ia menuliskan pesanan kami dan memanggil pelayan. Setelah pelayan itu mengambil kertas pesanan kami, ia kembali sibuk dengan ponselnya. Dan aku kembali sibuk memandanginya. Cowok ini biasa saja. Rambut ikal, kumis tipis, beberapa helai janggut, memakai kemeja dan celana. Apa istimewanya sih?
“Kuliahmu gimana?” tanyanya tiba-tiba.
Aku terdiam sejenak, mencoba mencerna pertanyaannya. Lalu aku menjawab, “Ya gitu aja sih. Masuk kelas sama ngerjain tugas. Skripsi kamu gimana?”
Dia juga terdiam sejenak. Lalu tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. “Jangan dibahas.”
Aku tertawa. “Kenapa jangan?”
Dia masih tersenyum, tapi tidak menjawab. Lalu makanan dan minuman pesanan kami datang. Percakapan kami terhenti di situ.
Setelah beberapa menit makan dalam keheningan, akhirnya ia bersuara. “Tina bilang dia suka tulisan kamu di majalah Ranting kemarin. Tentang apa sih?”
Aku terdiam ketika nama Tina disebut. Aku menelan ludahku sebelum menjawab, “Cerpen. Tentang cinta bertepuk sebelah tangan.”
“Kayaknya kamu memang penulis spesialis cinta bertepuk sebelah tangan ya? Atau pengalaman nih?” Ia tertawa.
Aku ikut tertawa. “Yah, cinta bertepuk sebelah tangan emang gak pernah mati. Selalu ada sisi dari cinta semacam itu yang bisa aku bikin tulisan.”
Ia memandangku lagi. Senyumnya masih menghiasi wajahnya. Aku balas memandang, berharap ia bisa membaca pikiranku. Tapi ia melanjutkan makannya, maka aku pun ikut menghabiskan makananku.
Selesai makan, ia memboncengku pulang dengan sepeda motornya yang seumur denganku. Sepanjang jalan itu kami hanya berbicara tentang betapa cepatnya lampu hijau di kota ini berubah menjadi merah dan betapa lamanya lampu merah berubah hijau. Selebihnya kami hanya bungkam, larut dalam pikiran masing-masing.
Saat itu sepeda motornya terasa aneh dan mulai bergoyang-goyang. Bannya bocor. Kami berhenti di pinggir jalan.
“Yah, gimana nih?” katanya sambil mengecek ban.
Lalu aku berkata, “Kalo gak salah di simpang jalan barusan ada tukang tambal ban deh. Aku cek dulu ya?”
Aku beranjak menuju simpang jalan. Di sana ada warung makan kecil yang dijaga oleh seorang ibu-ibu. Katanya ada satu tukang tambal ban tidak terlalu jauh dari sana. Aku terus berjalan dan tiba-tiba saja ia sudah ada di sampingku, berjalan sambil menuntun sepeda motornya. Kami tiba ditempat tambal ban dan duduk di bangku panjang, menunggu bannya selesai di tambal.
Aku menengadah ke langit. Bulan separuh. Kami hanya diam saja selama lima belas menit itu. Ia sibuk dengan ponselnya dan aku sibuk memandanginya. Seperti biasa.
Bannya selesai ditambal dan kami melanjutkan perjalanan pulang dalam keheningan.
Dialah yang pertama memecah keheningan itu. “Mau turun di mana?”
“Kamu mau langsung pulang?”
“Gak. Aku mau jemput Tina di sanggar.”
Aku terdiam lagi ketika nama Tina disebut. Akhirnya aku menjawab, “Ya udah, aku turun di warung depan sanggar aja.”
“Gak apa-apa nih?”
“Deket ini sih...”
Dan kami terdiam lagi selama tujuh menit, sebelum akhirnya kami sampai di depan sanggar. Ia memarkirkan sepeda motornya dan aku melepas helm. Kuserahkan helm itu padanya dan berkata “Makasih ya?”
Ia tersenyum. “Iya, sama-sama. Maaf ya tadi pake pecah ban segala? Jadi aja kamu pulang kemaleman.”
“Gak kok. Baru jam 7. Tenang aja.”
Aku beranjak pergi. Ia berbalik dan masuk ke sanggar.
Aku menunduk dan mataku basah.