"Apa?" Ia memandangku. "Barusan kamu bilang apa?"
"Aku suka matahari terbenam," jawabku.
"Kenapa?"
"Gak tau. Rasanya bikin hati tentram aja. Tiap ngeliat matahari terbenam, aku selalu ngerasa rindu sama sesuatu. Tapi aku sendiri gak tau sesuatu itu apa."
Ia tidak menjawab tapi matanya mengikuti arah pandangku. Jauh menuju langit barat, seolah-olah berusaha memahami teoriku barusan.
"Matahari terbenam itu indah, tapi cuma sebentar," katanya. "Menandakan kalo yang indah-indah itu sifatnya cuma sementara."
Aku tersenyum dan menusuk perutnya dengan pelan. "Bijak," ejekku.
"Iya dong..." Ia tertawa. Lalu kami terdiam lagi, memandangi laut dan larut dalam lamunan masing-masing.
Aku menghitung waktu. Matahari terbenam ketika masih setengah perjalanan menuju pelabuhan. Itu artinya masih ada satu jam sebelum kapal ini berlabuh. Setelah itu bis yang kami tumpangi akan menempuh perjalanan selama dua jam menuju Jakarta dan dua jam lagi menuju Bandung. Itu artinya aku masih bisa bersamanya selama lima jam.
Lima jam yang berharga. Lima jam hanya ia dan aku. Karena lima jam lagi ia akan...
"Masuk yuk? Udah mulai dingin nih..." ujarnya.
Aku mengangguk dan mengikutinya masuk. Ia memilih dua kursi di ujung dan menyuruhku duduk di sebelah jendela. Kapal ini nampak sedikit lengang. Penumpangnya tidak terlalu banyak. Mungkin karena ini bukan waktunya liburan.
Satu jam yang tersisa di kapal itu kami habiskan dengan menertawakan video-video klip dangdut yang diputar di televisi besar yang ada di pojok ruangan. Selama itu aku terus memandanginya; memandangi ujung matanya yang menyipit saat tertawa, rambut-rambut halus yang muncul di antara bibir dan hidungnya, alisnya, pipinya. Rasanya aku bisa gila dan lepas kendali kapan saja, tapi ternyata aku ini jauh lebih tangguh dari yang kuduga.
"Tadi kita makan jam berapa sih?" tanyanya sambil merapikan barang bawaan kami saat pelabuhan Merak sudah terlihat dekat.
"Hmm... Sekitar jam 2," jawabku. "Eh sini plastik yang punya aku. Aku bawa sendiri aja."
"Berat gini, As. Aku aja yang bawain," ujarnya berkeras.
Sebelum aku bisa membantah lagi, ia sudah mulai bergerak ke tangga menuju dek tempat parkir bis, truk, dan mobil-mobil pribadi. Aku mengikutinya turun dan berjalan ke bis, melewati udara panas akibat asap knalpot, lalu masuk ke dalam bis yang sejuk karena AC. Ia menyimpan barang-barang yang ia bawa ke bagasi yang ada di atas tempat duduk kami, lalu membantuku menyimpan barang-barang yang kubawa.
"Mau deket jendela gak?" tanyanya.
Aku mengangguk sambil duduk di kursi dekat jendela. Ia merapikan lagi barang-barang di bagasi sebelum duduk di sampingku. Ia lalu sibuk dengan ponselnya, sementara aku memandang ke luar jendela saat bis kami mulai keluar dari perut kapal. Selat Sunda sudah sangat gelap, tapi Merak terang benderang. Tidak ada antrian kendaraan, tapi tidak terlalu sepi juga.
Empat jam lagi.
Entah berapa lama ia terus sibuk dengan ponselnya sementara aku berpindah-pindah memandang ke luar jendela dan memandang wajahnya. Ia masih belum menyadari bahwa aku sering memandanginya diam-diam. Kalaupun ia tahu, berarti ia sangat pintar berpura-pura.
Aku sedang berusaha meredam segala macam pikiran itu dari benakku dengan cara menghitung lampu di sepanjang jalan tol Merak-Jakarta ketika suaranya mengganggu konsentrasiku. "Jangan ngelamun."
Aku memandangnya seraya berkata, "Kenapa jangan? Kan banyak ide-ide besar tercipta dari lamunan?"
"Bukan dari lamunan, tapi dari khayalan."
"Ah, apa bedanya? Buat aku sih sama aja tuh... " Seperti kamu, lamunan dan khayalan adalah sesuatu yang sangat kuinginkan, tapi mungkin tidak akan pernah tercapai.
"Beda, tau..." katanya. Ia kemudian menjelaskan panjang lebar mengapa lamunan dan khayalan adalah dua hal yang berbeda. Aku tidak terlalu menyimak karena aku lebih suka memandangi wajahnya. Aku suka ekspresi wajahnya dan matanya yang mencari-cari informasi ke atas, seolah-olah mengingat, setiap kali ia mencoba untuk menjelaskan sesuatu.
Percakapan kami kemudian berpindah-pindah dari satu topik ke topik lainnya. Kami tidak pernah kehabisan topik untuk dibicarakan. Kami bisa bercakap-cakap semalaman suntuk jika diberi kesempatan. Ia selalu punya jawaban untuk setiap pertanyaan yang kuajukan; pertanyaan konyol sekalipun.
Aku tidak ingat kapan tepatnya bis kami melewati Jakarta dan masuk ke tol Cipularang. Aku tertidur dan baru terbangun ketika ponselnya berdering. Ternyata aku tertidur sambil bersandar di lengannya, karena ketika ia akan mengambil ponsel di sakunya, badanku terguncang dan ia meminta maaf.
"Ya, Tin? Aku di tol... Udah masuk daerah Purwakarta. Lho? Sekarang udah jam berapa? Gak apa-apa tah? Rame gak di situnya? Oh... Ya udah. Iya. Iya, paling sejam lagi kurang lebih. Iya. Iya, sayang... Tungguin aja ya? Iya. Yuk."
Purwakarta. Bisa-bisanya aku tertidur dan menyia-nyiakan saat-saat bersamanya.
"Maaf kamu jadi kebangun," katanya.
"Gak apa-apa. Maaf aku tidurnya nyender ke kamu."
Ia hanya tersenyum dan aku setengah mati menahan diri untuk tidak langsung jujur saat itu juga. Tidak. Bukan sekarang. Bukan di sini.
Bis terus melaju dengan kecepatan tinggi. Jalan tol sangat sepi sehingga hanya butuh waktu beberapa menit saja untuk sampai ke Padalarang. Kurang dari lima belas menit kemudian, bis yang kami tumpangi ini keluar lewat gerbang tol Pasteur dan langsung meluncur ke poolnya.
Ketika bis masuk ke pelataran parkir, aku bisa melihat Tina dengan rambut panjangnya berdiri di depan loket penjualan tiket. Di sinilah perjalanan kami berakhir. Entah kapan lagi aku akan bisa merasakan ini bersamanya.
Ia bersikeras untuk membawakan lagi plastik-plastik milikku dan turun duluan dari bis. Aku mengikutinya berjalan mendekati Tina yang tersenyum lebar menanti pujaan hatinya. Tina menyapaku ketika kami sampai di depannya. Aku balas menyapa dan berbasa-basi, berusaha terlihat biasa saja.
"Aku sama Tina mau cari makan dulu di deket-deket sini. Ikut yuk?"
Aku menggeleng. "Aku mau nginep di kosan Lita malem ini. Dia udah nungguin. Aku duluan aja deh ya?"
Apakah aku salah lihat atau ia memang nampak sedikit khawatir?
"Gak apa-apa kamu pulang sendirian? Udah malem lho..."
"Gak apa-apa. Aku naik taksi aja," jawabku sambil mengambil plastik-plastik yang tadi ia bawakan. "Yuk ah duluan. Tina, aku duluan ya?"
Aku cepat-cepat pergi meninggalkan mereka dan berjalan ke tempat taksi-taksi terparkir, tidak jauh dari pool bis, sebelum mereka melihat mataku dan air yang mulai menggenang di sana.