Flash Fiction
Disukai
1
Dilihat
1,779
Lubang
Romantis

Lelaki berkaca mata itu mematikan mesin sepeda motornya dan mengeluarkan ponsel dari sakunya. Countdown timer di atas lampu lalu lintas yang menyala merah menunjukkan angka 83. Delapan puluh tiga detik yang cukup berharga untuk menghemat bahan bakar sekaligus mengecek ponsel.

Ketika ia menyadari bahwa tidak ada apapun yang menarik di ponselnya, ia memasukkannya lagi ke saku kemudian memandang ke sekeliling. Beberapa meter di depannya ada seorang anak lelaki yang sedang memandu monyetnya untuk beratraksi. Di kiri kanannya banyak sekali sepeda motor. Ia lalu memandang jauh ke depan sambil membayangkan sesosok gadis yang sedang tersenyum beberapa tahun yang lalu.

"Oh jadi ini toh penyebab kemacetan Bandung? Plat AB," kata gadis itu.

Sang lelaki tertawa. "Masa' jadi macet cuma gara-gara satu motor?"

"Ya seenggaknya motor kamu ini ikut berkontribusi. Iya kan?" jawab sang gadis sambil mengenakan helmnya.

Itu adalah kejadian yang rasanya seperti sudah terjadi berabad-abad yang lalu.

Lamunan sang lelaki dipecahkan oleh suara-suara klakson. Rupanya lampu lalu lintas sudah berubah hijau. Cepat-cepat ia menyalakan mesin dan meluncur maju menuju jalan yang sudah ia lalui entah berapa ribu kali. Sayangnya, setelah melaju beberapa meter, ia melihat bahwa jalan di depannya macet dan tidak ada kendaraan yang bisa bergerak. Ia membelokkan arah sepeda motornya dan masuk ke jalan kecil di sebelah kiri jalan utama.

Sesosok wajah muncul dari belakang punggungnya. "Lho? Kok belok sini?" tanya si pemilik wajah yang cantik itu.

"Jalan pintas, Lin," jawab sang lelaki.

Lin tersenyum sambil melingkarkan kedua lengannya ke pinggang sang lelaki. "Cieee... Udah hapal jalanan Bandung ya?"

Sang lelaki tertawa kecil. "Hapal dong. Masa' udah empat tahun di Bandung masih gak hapal?"

Lin menyandarkan kepalanya ke punggung sang lelaki. Sang lelaki melepaskan tangan kirinya dari stang dan menggenggam tangan Lin yang ada di perutnya. Mereka berdua tidak berbicara lagi.

Jalan yang diambil sang lelaki untuk menghindari kemacetan itu mulai tidak mulus dan banyak lubang di sana-sini. Dengan lincahnya sang lelaki menghindari lubang-lubang yang dalam. Ia sudah hapal letak lubang-lubang yang sudah sangat lama tidak ditambal. Dulu, dulu sekali, hampir setiap hari ia melewati jalan ini.

Dulu sekali, ketika sosok yang melingkarkan lengannya di pinggang sang lelaki bukanlah Lin.

"Awas, di sana ada lubang segede bak mandi gajah!" Sang lelaki masih ingat ketika gadis itu dulu memperingatkannya akan letak lubang-lubang jalanan berbahaya.

"Kamu hapal banget sama lubang-lubang jalan?"

Gadis itu tertawa. "Gimana gak hapal? Udah bertahun-tahun aku lewat sini dan udah bertahun-tahun juga lubang-lubang itu ada di situ. Gak pernah ada yang nambal."

"Kota kamu kok gini amat ya? Di kota aku sih mana ada jalan yang sampe sejelek ini."

"Oh ya? Aku belum pernah ke Jogja."

"Belum sama sekali? Main dong kalo gitu."

"Gak mau ah. Gak ada yang ngajakin."

"Ini aku ngajakin kok."

"Beneran? Mau naik apa? Motor ini? Gak kuat dong..."

Pada akhirnya ia tak pernah benar-benar membawa gadis itu ke kampung halamannya. Ia hanya sanggup mengantarkan gadis itu berputar-putar di kotanya sendiri: menjemputnya dari rumahnya di Maleber, mengantarnya membeli buku ke Palasari, mengantarnya ke tukang jahit langganan di Buah Batu, mengantarnya ke rumah saudaranya di Dago Atas, atau mengantarnya pulang kembali ke Maleber. Gadis itu telah menunjukkan begitu banyak jalan di kota ini. Gadis itu telah mengajaknya menikmati kemacetan di siang hari dan keindahan lampu kota di malam hari.

Sang lelaki terus memacu sepeda motornya melintasi jalanan di bawah langit sore yang mendung di penghujung musim hujan dengan seorang wanita cantik memeluknya erat. Cijerah dipadati kendaraan tapi tujuan mereka sudah dekat. Ia lega sekali karena bisa mengantarkan Lin pulang ke rumahnya sebelum hujan turun.

Ia berhenti di depan rumah berpagar hijau tua. Lin turun dari sepeda motor, melepas helm, dan menyerahkannya pada sang lelaki.

"Makasih ya, Sayang?" ucapnya.

Sang lelaki tersenyum. "Iya. Tapi aku gak ikut masuk ya? Udah mendung banget nih. Takut keburu ujan."

Lin balas tersenyum sambil berkata "Iya gak apa-apa. Hati-hati di jalan ya? Kalo udah sampe kosan kasih tau aku."

"Iya. Salam untuk ibu dan bapak."

Sang lelaki memutar balik sepeda motornya dan kembali mengarungi padatnya kendaraan di jalan Cijerah. Angin mulai bertiup kencang dan langit semakin hitam. Ia melirik langit dan memohon dalam hati agar hujan tidak turun dulu. Ada satu tempat yang ingin sekali ia kunjungi.

Ia tidak langsung kembali ke kosan. Ia membawa sepeda motornya berbelok ke sebuah jalan yang sangat familiar, jauh lebih familiar dibandingkan jalan manapun di kota ini. Ia terus maju sampai kemudian berhenti di seberang rumah berpagar putih berhiaskan angka 84 warna emas. Dipandanginya pintu rumah itu.

Ia ingat bagaimana biasanya ia mengetuk pintu itu dan kemudian sesosok gadis dengan senyum paling manis sedunia membukakannya. Gadis itu akan menawarinya untuk masuk dulu dan sang lelaki akan menolaknya dan mengajaknya langsung berangkat. Gadis itu akan mengambil tas kanvasnya dan mengenakan helm abu-abu. Kemudian gadis itu akan duduk di belakangnya di sepeda motor dan melingkarkan lengannya ke pinggang sang lelaki.

Ketika hujan tiba-tiba turun dengan derasnya, sang lelaki melihat pintu yang sedang ia pandangi itu terbuka. Gadis yang sedang ia lamunkan itu berlari keluar menuju jemurannya yang banyak dan belum diangkat. Dengan panik, sang gadis menarik semua perlengkapan bayi dan pakaian pria yang ada di jemurannya itu.

Seorang pria ikut berlari keluar dari pintu itu dan membantu sang gadis mengangkat jemuran dan memasukkannya ke ember besar. Dengan bantuan sang pria, jemuran itu bisa diangkat semuanya dalam waktu yang singkat. Sang pria kemudian meraih tangan si gadis dan cepat-cepat menariknya kembali masuk ke rumah.

Sang lelaki masih di sana, di seberang rumah berpagar putih nomor 84. Hujan deras yang turun tiba-tiba telah membuatnya basah seketika, tapi ia masih terdiam di atas sepeda motornya. Ia masih memandangi pintu yang kini telah tertutup lagi itu.

Sepuluh detik kemudian, ia kembali memacu sepeda motornya dengan senyuman di bibirnya.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar