Bapak mati hari ini. Kematian memeluknya erat seperti kerabat dekat. Matanya mendelik hebat, dan tubuhnya berguncang keras saat bapak dipanggil si kawan. Ku pikir itu tanda kesenangan dan keterkejutan bapak saat melihat kawannya, ia mendelik ke atas. Mungkin Kematian lebih tinggi darinya, lebih besar. Sembari melihat kawan lama, Bapak bertanya, “Ini dimana? Ini kita dimana?”
Kematian sepertinya punya sihir yang hebat, ia bisa membawa bapak melihat suatu tempat tanpa harus membawanya pergi. Aku iri, ingin juga melihat tempat yang sama seperti yang Bapak lihat saat itu. Entah itu indah, atau mengerikan, tak terpikir. Tapi kemudian aku sadar, akan ada waktunya. Kematian belum ingin memelukku. Hidup masih punya urusan denganku.
Besok ulang tahunku, tepat yang ke dua puluh. Angka yang cukup banyak untuk bisa dikatakan dewasa. Seharusnya bapak ada di hari itu, seharusnya kita pergi ke suatu bukit dan melihat fenomena Supermoon di tahun itu. Tapi ia malah reuni dengan teman lama. Memilih pergi dengan Kematian, bergandeng tangan, dan melompat tinggi tinggalkan semesta ini. Kemana? Jangan tanya, guru agamamu pasti sudah sering jelaskan ini.
“Pak, tahun ini aku wisuda.”
Kalimat yang ku ulang berkali-kali, dua kali ku ucapkan dengan lantang sembari menepuk perut bapak yang buncit saat tubuhnya terbujur kaku di ranjang Rumah Sakit, sisanya di dalam kepala sepanjang enam bulan setelah perginya dia bersama Kematian.
Aku kira bapak bercanda, seperti waktu ku kecil dulu. Pura-pura mati, dan membiarkan ku menangis bukan main lalu ia bangun dan tertawa melihat hidungku penuh ingus.
Aku pikir bapak bercanda, seperti waktu ku kecil dulu. Diam-diam hanya menahan napas sebentar, lalu ia bangun dan mengejutkanku.
Bapak tidak bercanda. Kali ini bapak tidak bercanda. Kematian betulan menjemputnya dengan kereta kuda, atau mungkin ia hanya terbang dengan jubah panjang dan hinggap di pundak bapak? Entah benar yang mana. Kematian senang sekali dengan kejutan. Ia senang membuat orang terkena syok berat, mungkin baginya wajah orang yang pucat pasi dan berlinang air mata itu sangat cantik.
“Pak, tahun ini aku wisuda.”
Sekali lagi kalimat itu ku ulang, tapi bapak belum bangun juga. Ku guncang tubuhnya keras-keras, mungkin mimpinya indah dan dalam lelap ia berkelana di sana. Tubuhnya lebih besar, kuat-kuat ku goyangkan lagi tubuhnya, pernah sekali ku tampar pipinya hingga orang kaget melihat itu. Mereka pikir mungkin aku anak durhaka, tapi peduli setan. Bapak tidak bangun juga.
Aku kalah, aku kalah dengan Kematian. Memang seharusnya begitu. Mana bisa ia dicurangi, mana bisa ia dikelabui. Kematian selalu menang, kecuali lawannya Tuhan. Atau Mukjizat yang seperti lotre.
Bapak mati hari ini. Aku lihat pakaian berkelananya sudah membungkus penuh tubuh besar itu. Putih polos, sederhana sekali modelnya. Mungkin di semesta lain tidak perlu pakaian banyak gaya atau warna. Semua pasti nampak serupa, pakaiannya putih bersih saja.
Bapak tidak bawa apa-apa, mungkin hanya seikat kebaikan yang pernah ia tabung dulu untuk di jalan. Bapak tidak tahu siapa-siapa, Kematian satu-satunya kawan. Tubuhnya perlahan memasuki gerbang, tanah merah menyambutnya senang. Bumi hari ini dapat makan, baru ku paham kenapa orang mati yang dikubur disebut “dikebumikan”.
“Pak, tahun ini aku wisuda.”
Kali ini kalimat itu terhenti, hanya sampai di ujung tenggorokan. Bapak sudah tidak lagi bisa dengar apa yang ku katakan, alih-alih malah buat orang lain meremas iba bahuku saja. Aku tidak butuh Iba, dia menyebalkan. Iba datang bukan karena kehormatan, tapi dari kelembutan hati yang cengeng.
Orang- orang berdatangan, wajah mereka merah, matanya bengkak dan penuh air mata. Kata Ibu mereka kenalan bapak, kata ibu mereka teman bapak. Aku diam-diam bertanya, bukannya Kematian juga teman bapak? Apakah mereka cemburu karena Bapak lebih memilih pergi dengan Kematian? Aneh, pikirku.
Tiga hari, tiga hari rumah bising. Teman bapak banyak. Kata mereka bapak orang baik. Tapi itu hanya karena bapak sudah mati saja. Aku tahu, bapak bukan orang baik. Bukan juga orang jahat. Lagi pula, Baik dan Jahat memang selalu dilahirkan bermusuhan. Bapak tidak keduanya, bapak diantaranya.
“Pak, tahun ini aku wisuda.”
Begitu selalu isi kepalaku tiap kali ingin menyerah. Aku sudah janji, mana boleh ingkar. Bapak tidak suka orang yang ingkar janji, aku tidak mau tidak disukai bapak lagi. Jadi, aku tidak menyerah. Aku sudah janji.
“Pak, tahun ini aku wisuda.”
Ibu sering bilang bapak suka ini itu saat sedang melakukan sesuatu. Diam-diam aku lihat matanya sembab di pagi hari. Mungkin dia rindu, atau mungkin dia cemburu karena bapak lebih pilih pergi dengan teman baru ketimbang jalan-jalan sore dengannya.
“Pak, tahun ini aku wisuda.”
Bapak dulu sering bangun tengah malam, memergoki ku di dapur mencari makanan seperti tikus. Bapak tidak akan marah kalau tahu aku belum tidur jam tiga pagi. Bapak tau isi kepalaku sering penuh, karena dia juga begitu. Karena aku anaknya.
“Pak, tahun ini aku wisuda.”
Pagi buta aku bangun, sepasang kebaya dan kain songket ku pakai rapi. Wajah ku poles dengan make up yang sebenarnya hingga kini pun aku tak tau bagaimana cara pakainya dengan benar. Kami pergi ke tempat yang jauh dari rumah, tempat dimana janjiku pada bapak akan terpenuhi.
Berkali-kali ibu bilang, “Jalannya yang anggun, kamu perempuan. Ini hari penting.”
Benar juga. Mungkin hari ini saja aku bisa jadi “perempuan”, untuk memenuhi janjiku pada bapak. Sepatu hak tinggi yang ku pakai asing sekali rasanya di kaki, melihat dunia lima centi lebih tinggi dari biasanya ternyata cukup lucu. Aku bisa lihat sanggul kawanku yang menonjol di belakang kepalanya.
Kawanku semuanya cantik dan tampan, lain sekali tampang mereka dengan baju-baju serius dan polesan di wajah. Raut wajah sumringah ada dimana-mana, bangga anaknya sudah selesai menjalani pendidikan tinggi.
Toga sudah melekat di tubuh, kebesaran, selalu kebesaran. Tapi bukan masalah, mungkin nanti aku akan tumbuh lebih besar lagi dan bisa pakai toga yang sama waktu ingin pamer ke bapak. Satu persatu nama kami dipanggil, semua maju ke panggung depan hanya untuk berfoto dan menerima ijazah. Dan tentu saja, memindahkan tali di sebelah kiri topi toga jadi ke sebelah kanan.
Hingga tiba giliranku, namaku disebut dengan nama belakang dari bapak. Ibu mungkin jauh di belakang tapi aku bisa tahu ia mungkin sedang menangis sekarang. Aku naik ke panggung, menerima segala perangkat bertarung untuk level kehidupan lain dengan senang. Lalu dalam hati berkata,
“Pak, hari ini aku wisuda.”