“Kamu benar.” Aku menoleh ke kanan. “Seandainya ayahku mampu dan mewujudkan impianku sekolah di tempat elit itu, mungkin aku enggak akan bertemu denganmu.”
Lelaki tujuh belas tahun yang duduk setengah meter dariku tertawa renyah. “Apa bagusnya bertemu denganku? Sudah miskin, tukang telat, mata duitan pula,” katanya. Semakin tergelak setelah menyelesaikan ucapannya.
Aku melemparinya dengan rumput yang baru kucabut di depanku. “Jangan merendah! Kamu itu menakjubkan!” Senyumku terbit. Pandanganku beralih, terlempar jauh ke ujung lapangan. “Dari kamu, aku belajar jualan kecil-kecilan, melupakan kekecewaanku karena enggak bisa masuk SMA Cipta Karsa dan berlapang dada atas realita.”
Kuhirup udara sesaat kemudian melanjutkan, “Kamu juga benar soal takdir kita yang terpaksa terjebak di sekolah penuh masalah ini. Daripada berlarut-larut dalam penyesalan, lebih baik berusaha keras membuktikan diri. Sekolah yang buruk enggak akan bikin kita jadi buruk. Selama kita mau, enggak ada yang mustahil.”
Senyumku melebar. Namun lenyap dalam sekejap begitu terdengar tawa keras.
“Kok, ketawa, sih? Seharusnya kamu bangga dan tersanjung! Aku sedang memujimu, loh.” Kulempari lagi lelaki itu dengan rumput.
Menghindar, Abin menggeser duduknya menjauh dariku. “Iya, deh, aku tersanjung. Siapa yang enggak suka dipuji sama perempuan cantik, coba?” Lantas tergelak lagi. Sama renyah dengan sebelumnya.
Gemas. Aku mencabut dan melempar rumput padanya berulang kali. Dari semula duduk, jadi berdiri. Dari berdiri, jadi kejar-kejaran keliling lapangan.
Meskipun di atas sana cuaca sedang terik bukan main, namun semua itu seolah tak berarti. Terutama ketika seseorang sedang bahagia.
Iya iya, aku mengaku. Perasaanku pada Abin enggak cuma sekedar teman untuk teman. Tapi aku paham benar kalau kondisi kami sama-sama tak memungkinkan untuk bertindak egois. Masih ada banyak hal yang harus kami perjuangkan, masih ada banyak mimpi yang ingin kami capai. Aku dan Abin masih anak sekolahan. Tentu saja cita masih jauh lebih penting daripada cinta.
Lagipula, untuk sekarang, seperti ini saja sudah cukup.
Bunyi peluit panjang masuk ke telingaku. Melengking keras. Baik diriku maupun Abin berhenti mendadak. Bersamaan menoleh ke arah datangnya suara.
Seorang guru pria di tepi lapangan menatap ke arah kami tajam. Lengannya di lipat ke depan dada seperti biasanya. Ujung sepatu pantofelnya mengetuk-ketuk tanah. Perlahan tangannya diangkat, menunjuk ke tengah lapangan, telunjuknya digerakkan melingkar, kemudian diayunkan ke belakang.
Ah, aku paham maksudnya. Tetapi ketika aku menoleh pada Abin, cowok itu justru mengedipkan mata kirinya, merotasikan, lantas melirik arah yang berlawanan dengan tempat Pak Narenda berada.
Baiklah, mari berhitung. Satu..., dua..., tiga!
Peluit lebih panjang dan keras terdengar sedetik setelah hitungan ketiga aku ucapkan dalam hati. Bersamaan itu pula, aku dan Abin lari sekencang mungkin ke arah gerbang depan. Tidak. Tepatnya, samping gerbang utama. Abin memanjat lebih dulu.
“Cepat, Son! Cepat! Manjat-manjat!” Abin yang telah berada di balik pagar pemisah wilayah sekolah dengan trotoar tertawa-tawa. Menyorakiku heboh. “Pak Narenda nyusul, tuh!” katanya.
“Sedang berusaha ini, Bin! Walau aku pakai celana di dalam rok, tetap saja susah!” Sambil melangkahkan kaki ke seberang, aku menggerutu. Yang langsung dibalas kikikan oleh lelaki tersebut.
Pak Narenda sampai di depan pagar semenit kemudian. Tapi terlambat, aku telah berhasil berdiri di samping Abin.
“Kelas kami lagi kosong, kok, Pak. Jadi kami mau belajar di tempat lain.” Abin menunjuk ke sekolah sebelah. Sekolah elit yang menjadi impianku setahun lalu namun sekarang berubah menjadi ‘pasar'-ku dan juga Abin. “Nanti, kalau ada guru masuk, kirim pesan ke saya saja, Pak. Janji, kami bakal cuss balik ke sini. Kami permisi dulu, Pak Narenda.”
Abin menarik pergelangan tanganku. Sedangkan tangannya yang lain melambai-lambai ke guru konseling paling terkenal se-SMK Cipta Karsa tersebut. Kemudian kami berlari-lari kecil.
“Son,” baru sebentar melangkah, Abin tiba-tiba berhenti, “dagangan kita...,” ia menatapku dengan sorot yang sulit diartikan, “ketinggalan,” lirihnya.
Sontak aku membulatkan mata, maju selangkah, berjinjit, mengangkat sebelah tangan dan menyentil dahi Abin sampai dirinya mengaduh.
“Son!” protesnya.
Kupalingkan muka. Pura-pura sebal. Lantas berdeham untuk kemudian berkata dengan nada se-sinis mungkin. “Sok jago depan Pak Narenda, tahunya—”
“Maaf, Son. Kuambil, nih, ya!” Cowok yang lebih tinggi sejengkal dariku tersebut memutar badan, hendak kembali ke depan gerbang namun cepat-cepat kutahan.
“Jangan!” Aku menyeru. “Sekali tertangkap Bapak kedisiplinan itu, bisa tamat kamu! Ambil lewat belakang saja.” Kujeda ucapanku beberapa saat, lalu melanjutkan dengan suara lebih lirih, “Aku enggak keberatan, kok, kalau harus olahraga sedikit.”
Senyum Abin mengembang lebar. “Baiklah,” katanya sembari mengangguk.
“Tapi lain kali, kalau begini lagi, aku enggak mau susah, ya!”
***