Deru mobil terdengar. Asalnya dari rumah sebelah. Dengan segera aku meninggalkan meja makan tanpa menghabiskan isi piring. Membuka pintu depan. Melihat lelaki berkaos merah gelap mengangkat gulungan tikar, memasukkannya ke bagasi.
“Raven mau ke mana?” teriakku.
“Ke pantai!” balasnya. Teriak juga.
“Kok, enggak bilang-bilang? Disa, kan, mau ikut!” Aku memberengut. Lari ke arahnya tanpa alas kaki.
“Terus, papa kamu?” Raven berbalik, melepas sandal, menginjak lantai teras. Aku hendak mengikuti namun Raven menahan bahuku sambil berkata, “Di sini saja. Kamu enggak pakai sandal.”
“Mama ada, kok! Lagian, Disa bosan di rumah.” Aku berdalih.
“Memangnya enggak mau sekali-kali menghabiskan waktu weekend sama papa mama kamu? Jarang-jarang, kan, kalian bisa ngumpul?”
Aku tidak menjawab.
Raven masuk ke dalam rumah. Keluar lagi bersama box besar yang ketika lewat di depanku, tercium aroma macam-macam masakan. Di belakangnya, Ayah menenteng tas kain di tangan kanan dan tiga payung di tangan kiri. Kudekati beliau.
“Ayah, Ayah, Disa mau ikut. Boleh, ya?” mohonku. Membuntuti Ayah sampai mobil. “Disa mau main ke pantai juga bareng Ayah.”
Usai meletakkan barang bawaan di sebelah tikar, Ayah memusatkan pandangannya padaku. Tersenyum. “Boleh. Tapi izin papa mama dulu!”
Aku melompat dan bersorak. Kudengar Ayah tertawa. Lantas tanpa membuang waktu lagi, aku balik badan dan lari ke rumah. Sampai teras, berhenti lagi. “Raven, pokoknya jangan berangkat dulu, ya, sebelum Disa datang!”
Perihal izin, diriku yakin tak akan ada masalah. Mama dan Papa tak pernah melarangku pergi bersama keluarga Raven. Kecuali kalau hanya dengan Raven. Papa sering enggak kasih izin.
***
Kulambaikan tangan ke Ayah usai meletakkan barangku di lantai teras. Dibalas dengan seruan, “Besok harus semangat, ya, sekolahnya! Kan, sudah liburan!”. Ibu juga ikut membalas dengan kecup jauh.
Senyum lebarku belum tenggelam. Sepertinya angin laut membuatku segar kembali setelah seminggu terjebak pada padatnya kegiatan akademik.
Bisa dibilang keluarga Raven sering berlibur. Hampir setiap weekend Ayah mengagendakan kegiatan di luar rumah minimalis mereka. Tidak jauh-jauh dan bukan bermewah-mewah. Paling-paling ke pantai, gunung, taman, alun-alun kota, kolam renang, sesekali nonton di bioskop.
Kalaupun tidak kemana-mana, Ayah akan mengajak Raven dan Ibu jalan kaki keluar perumahan saat pagi dan sore. Seringnya, aku ikut. Kecuali kalau tugas sekolah dan les menumpuk.
“Segera istirahat, Disa. Besok sekolah.”
Kutengok ke samping. Rupanya Papa sedang duduk di teras, membaca buku tebal ditemani secangkir teh yang tinggal sepertiga.
Kuanggukkan kepala. Melangkah masuk sambil menyeret ransel berisi baju basah.
Sampai di dalam, gantian Mama menyapa. Mengambil alih ranselku sambil bertanya, apakah aku lapar. Kujawab dengan gelengan. Tadi diriku sudah banyak makan. Masakan Ibu terlalu mengagumkan untuk hanya dilihat saja.
“Oke. Tugas sudah beres?”
“Sudah.”
Mama mengelus pundakku. “Kalau capek, tidur saja dulu. Nanti Mama bangunkan saat makan malam.”
Aku menurut. Masuk ke kamar, menutup pintu, merebahkan badan, menghela napas.
Setiap bersama keluarga Raven, lalu pulang, entah mengapa aku selalu merasa seperti tengah dijatuhkan dari tebing. Meski diriku dan Raven sama-sama anak tunggal yang memiliki orang tua lengkap, namun suasana rumah kami jauh berbeda. Raven seperti menerima banyak hal yang tidak kudapatkan.
Sekalipun aku dan Raven sudah berteman sejak balita, tapi bohong kalau kubilang tidak pernah iri.
Bagaimana tidak? Ayahnya menyenangkan, hangat dan seru walau sering rempong. Ibunya cerewet tapi suka bercanda dan pandai memasak. Rumah mereka jarang sepi meski hanya ditinggali tiga orang. Interaksi tak pernah terputus kecuali saat semua terlelap.
Mendekati definisi keluarga bahagia, kan? Aku sampai pernah berpikir, Seandainya saja diriku lahir di keluarga mereka. Sebagai adik perempuan Raven, mungkin?
Haha. Itu hanya sekelumit imajinasi konyol yang hingga kini masih sering terbesit.
Mereka sensitif sekali perihal disiplin waktu, tapi keduanya hampir tak pernah memarahiku. Ketika menegur, Mama selalu menggunakan kalimat halus yang tak tertolak. Sedangkan Papa akan tegas dan logis sampai diriku tak menemukan alasan untuk melanggar.
Kebalikan dari kediaman tetangga, rumah ini hampir selalu hening. Jangankan keributan, percakapan saja hanya dilakukan jika perlu. Mendekati definisi keluarga seperti apakah ini?
“Memangnya kenapa harus berorientasi pada definisi keluarga bahagia?” tanya Raven pada suatu hari, ketika kuungkapkan isi pikiranku.
“Enggak kenapa-napa, sih. Aku cuma bingung sama perasaanku sendiri.”
“Bingung bagaimana?”
“Aku suka keluargamu. Kalau ditanya apakah aku sayang Ayah dan Ibu, pasti langsung kujawab ‘ya’. Tapi,” aku diam sejenak untuk mengambil napas, “kalau ditanya apakah aku sayang Papa dan Mama … kupikir diriku enggak bisa berkata ‘ya’ dengan kerelaan penuh.”
Raven pindah posisi dari yang semula duduk di undakan teras bersebelahan denganku, menjadi jongkok di depanku. “Menurutku, kamu sayang banget sama mereka. Pasti.”
“Kok, Raven bisa bilang begitu?”
“Bisa, lah! Gini, ya, Sa,” Raven duduk bersila tanpa alas, “sering kali, rasa sayang dan cinta yang teramat besar itu terlalu sulit untuk didefinisikan. Tapi bukan berarti enggak ada.”
Aku sayang kedua orang tuaku yang kaku begitu? Masa, sih?
“Tapi Ayah, kan, lebih—”
“Sa, sayang dan cinta itu enggak bisa diukur dengan perbandingan. Tapi Ayah lebih begini, Ibu lebih begitu. Sedangkan Papa dan Mama blablabla.” Raven menggerakkan bola matanya ke kanan-kiri.
Aku menghembuskan napas. Hatiku masih ambigu. Antara sayang dan sayang tetapi tidak begitu tulus. Antara cinta dan memaksakan cinta.
“Gampangnya, coba jawab pertanyaan ini.” Raven menatapku serius. “Pernah rindu? Kalau iya, artinya kamu sayang.”
***