Dapat kudengar seseorang mengetuk kaca jendela. Dua kali. Setelah jeda setengah menit, dua kali lagi. Dengan segera aku meninggalkan sketchbook yang sudah hampir dua jam kuperhatikan, lantas mendekati jendela.
Seorang perempuan dengan potongan rambut bob sebahu mengangkat tangan dan melambai. Kubukakan jendela untuknya, lalu mundur. Diriku sudah hafal benar kebiasaan cewek satu ini. Dirinya akan melompat lincah, menduduki kusen dengan sebelah kaki berpijak pada bingkai jendela dan sebelah lagi menggantung di luar.
Aku kembali pada sketchbook. Lanjut menggambar kelopak bougainvillaea.
“Wah, wah, menggambar bunga lagi, Yas? Apa, nih? Bukan mawar, bukan melati, bukan kamboja juga. Kalau enggak salah, di jajaran pot depan rumah ada, kan?”
“Bugenvil. Ada juga yang menyebutnya bunga kertas.”
Eren ber-oh panjang. Mungkin, sambil manggut-manggut juga. “Tapi, Yas, sekarang jurusan SMK-mu, kan, broadcasting. Apa enggak capek mempelajari sesuatu yang berlawanan dengan minatmu?”
Aku tidak menjawab.
Melihatku tak berkutik, Eren pun segera banting setir. Kembali bertanya tentang tanaman hias meski kutahu dia tidak begitu antusias dengan topik yang sedang dibicarakannya. Terkesan agak memaksa.
“Yas, kenapa ada tanaman hias yang cuma punya daun? Apa bagusnya lihat daun doang?”
“Bukannya mengurus tanaman itu ribet, Yas?”
“Aku pernah lihat ada tanaman yang kayak pohon cemara, tapi versi gemes gitu. Warnanya hijau, daunnya kecil-kecil, mengerucut. Terus, mereka bergerombol. Apa, tuh, Yas?”
“Kamu, kan, pernah bilang, Yas, kalau bunga itu paling cantik saat berada di pohonnya dan seseorang yang mengaku suka tanaman pasti enggak akan memisahkan bunga dari pohonnya. Terus, gimana florist mau bikin buket kalau enggak boleh dipetik? Berarti mereka enggak kamu akui sebagai pecinta tanaman hias, dong!”
Celotehan perempuan super ekspresif itu tak kunjung membuat moodku membaik. Meski setiap pertanyaan Eren selalu kujawab seperti biasanya, namun tidak dapat kuelak bahwa jauh di dalam pikiran terus-terusan terngiang kalimat Eren yang ... bisa dibilang berhasil memperlebar luka yang sudah separuh sembuh.
Apa enggak capek mempelajari sesuatu yang berlawanan dengan minatmu? Apa enggak capek? Apa enggak capek? Apa enggak capek, Yas?
Seolah ada piringan hitam di kepalaku dan di putar berulang kali. Lama-kelamaan berdenging.
Saat ketenanganku hampir habis, kuputuskan untuk meninggalkan bangku. Mendekati Eren. “Pulang.”
“Heh?”
“Pulang. Jangan ke sini sebelum aku menghubungimu lebih dulu. Paham?”
“Eh? Kenapa, Yas? Kamu marah?” Air muka Eren tampak kebingungan.
Kuambil napas panjang kemudian mengembuskannya perlahan. “Aku enggak marah sama kamu. Ini cuma ... sedikit reaksi.”
Eren melompat dari kusen, menginjak tanah. Menyilangkan tangan ke depan dada dan menyipitkan mata.
“Pokoknya, ada sebab yang mengakibatkan diriku seperti ini. Semua akan baik-baik saja selama kamu ikut kataku.” Segera kututup jendela dan korden.
Di luar, Eren mengetuk-ngetuk kaca. Namun kuabaikan.
***
“Ini cuma waktu.”
Aku langsung bangkit dari tempat tidur.
“Apakah kamu ingin kembali?”
Bisikan lagi-lagi terdengar. Membuatku celingukan. Mencari-cari asal suara.
“Aku bisa memutar waktumu, membawamu ke masa lalu, namun aku tidak bertanggung jawab atas apapun yang akan kamu ubah di sana.”
Sekali lagi, aku menyapu pandangan ke setiap sudut kamar namun tak menemukan siapapun.
“Kaget, ya?” Seorang perempuan berpiyama biru muda melompat keluar dari lemari baju. Membuatku terkejut sekaligus lega.
Kujitak kepalanya. Kemudian dapat injakan di kaki.
“Kenapa, sih? Dari tadi Kakak melamun mulu, lho. Sampai enggak dengar pas kupanggil. Hayo! Jangan-jangan ... lagi mikirin Kak Eren, ya!” Ujung telunjuknya mencolek-colek lenganku.
Kurotasikan bola mata.
Memang benar aku sedang memikirkan Eren. Bukan orangnya, tapi ucapannya. Sekarang, ditambah kata-kata yang dilontarkan Garin, membuatku kepikiran juga.
“Kalimat yang barusan itu, kamu habis baca dari mana?” tanyaku.
Garin menelengkan kepala sedikit. Menggumam sebentar. “Entahlah. Aku lupa. Sudah terlalu banyak buku yang kubaca. Sampai ingatan pun tertimbun.”
“Halah!”
Garin menjauh sambil cekikikan namun berhenti di depan pintu, menoleh lagi. “Tumben Kakak kepo. Tapi kalau seandainya ada yang bilang begitu dan sungguhan, aku enggak akan menerima penawarannya, sih.”
“Lha, kenapa?”
“Mengubah hal buruk di masa lalu, sama saja dengan mempertaruhkan hal baik di masa sekarang. Lagian, berandai-andai atas sesuatu yang gak mungkin itu enggak boleh, tahu!”
***
Korden telah terbuka. Kemudian jendela. Udara sejuk pagi hari berlomba-lomba masuk menjejali kamarku, mendorong keluar udara lama. Padahal sebelumnya, aku baru akan membuka jendela setelah Eren mengetuk-ngetuk kaca. Lalu perempuan tersebut akan mengomeliku tentang betapa pentingnya sirkulasi udara yang baik terhadap kesehatan.
Saat ini jarum jam menunjukkan pukul empat lebih lima menit. Sudah pasti Eren belum bangun. Tapi memang itu yang aku harapkan. Jadi, begitu ia membuka mata dan melihat ke luar, dirinya akan tersenyum lebar, melompati pagar pendek pemisah antara tempat tinggalku dan tempat tinggalnya, lalu berkata, “Yas sudah baikan?”
Sambil melanjutkan gambar bougainvillaea, aku menunggu suara renyah Eren sampai ke indra pendengaranku. Namun hingga pagi berlalu, siang berlalu, petang berlalu dan kini malam pun hampir berlalu, tak ada tanda-tanda kehadiran Eren di rumah sebelah.
Jujur, rasanya, aku ingin kembali ke hari kemarin.
***