Flash Fiction
Disukai
2
Dilihat
912
Tabiat
Horor

Di sebuah desa kecil yang terletak di kaki gunung, hidup seorang pria tua bernama Pak Samin. Dia dikenal sebagai orang yang bijak, namun sering kali aneh dalam tingkah lakunya. Setiap malam bulan purnama, Pak Samin selalu mengunci diri di rumah, dan tak seorang pun melihatnya hingga fajar. Penduduk desa sudah terbiasa dengan kebiasaan aneh ini dan memilih untuk tidak mengganggunya.

Desi, seorang siswi SMA kelas 2, baru saja pindah ke desa itu bersama keluarganya. Dia merasa penasaran dengan cerita-cerita yang beredar tentang Pak Samin. Suatu sore, saat pulang sekolah, dia berbicara dengan temannya, Rina, tentang pria tua itu.

"Rina, kamu tahu nggak, kenapa Pak Samin selalu ngunci diri di rumah tiap malam bulan purnama?" tanya Desi dengan nada penasaran.

"Entahlah, Des. Orang-orang di sini bilang dia punya ilmu hitam. Tapi nggak ada yang pernah lihat sendiri. Katanya sih, seram banget," jawab Rina sambil berbisik.

Desi merasa tertantang. Malam itu, dia memutuskan untuk menyelidiki sendiri. Ketika bulan purnama mulai naik ke langit, dia menyelinap keluar rumah, menuju rumah Pak Samin yang terletak di ujung desa. Dengan hati-hati, dia mendekati jendela rumah yang agak terbuka dan mengintip ke dalam.

Di dalam, dia melihat Pak Samin duduk di lantai, dikelilingi oleh lilin-lilin yang menyala. Di hadapannya, tergeletak sebuah boneka kayu yang sangat mirip dengan Desi. Pak Samin menggumamkan sesuatu dalam bahasa yang tidak dikenal, sambil menggoreskan sebuah pisau kecil pada boneka itu. Desi terpaku di tempatnya, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.

Tiba-tiba, Desi merasakan sakit yang tajam di dada. Ketika dia melihat ke bawah, di dadanya muncul bekas luka yang persis sama dengan goresan yang dibuat Pak Samin pada boneka tersebut. Dengan kepanikan yang melanda, Desi berlari kembali ke rumahnya. Rasa sakit itu semakin menjadi-jadi, membuatnya sulit bernapas.

Keesokan paginya, Rina datang ke rumah Desi untuk menjemputnya ke sekolah. Namun, dia terkejut melihat Desi terbaring lemah di tempat tidurnya.

"Desi, kamu kenapa? Kok pucat banget?" tanya Rina khawatir.

"Rina, aku... aku lihat sesuatu semalam," jawab Desi dengan suara lemah. "Pak Samin... dia melakukan sesuatu dengan boneka kayu yang mirip aku. Terus tiba-tiba aku ngerasa sakit banget di dada."

Rina terdiam, merasa ngeri mendengar cerita Desi. "Kita harus cerita ke orang tua kamu. Ini nggak bisa dibiarkan."

Orang tua Desi segera membawa Desi ke dokter, tapi dokter tidak menemukan apa-apa yang salah secara medis. Luka di dadanya pun menghilang tanpa bekas. Namun, Desi tetap merasa lemas dan takut. Dia tidak bisa menghilangkan bayangan Pak Samin dari pikirannya.

Malam berikutnya, Desi memutuskan untuk mengkonfrontasi Pak Samin. Meski rasa takut masih menguasai dirinya, dia tidak ingin hidup dalam ketakutan selamanya. Dengan langkah mantap, dia menuju rumah Pak Samin saat bulan purnama mulai naik ke langit.

Dia mengetuk pintu dengan keras. "Pak Samin! Saya tahu Anda di dalam. Tolong keluar!"

Pintu terbuka perlahan, dan Pak Samin muncul dengan tatapan tenang. "Ada apa, Nak Desi? Malam-malam begini datang ke rumah saya?"

"Saya lihat apa yang Anda lakukan semalam, Pak. Dengan boneka kayu itu. Kenapa Anda melakukan itu?" Desi langsung to the point, meski suaranya bergetar.

Pak Samin tersenyum tipis. "Ah, jadi kamu yang mengintip semalam. Boneka itu hanyalah bagian dari ritual lama. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan."

"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan? Saya merasa sakit sekali di dada setelah melihat itu! Anda menyakiti saya!" Desi mulai menangis.

Pak Samin menghela napas panjang. "Nak Desi, ada banyak hal yang tidak kamu mengerti. Ilmu ini bukan untuk menyakiti, tapi untuk melindungi. Setiap boneka yang saya buat adalah untuk melindungi penduduk desa dari roh jahat yang berkeliaran saat bulan purnama."

"Tapi kenapa saya yang merasakan sakitnya?" Desi bertanya dengan bingung.

"Saat kamu melihat ritual itu, kamu mengganggu keseimbangan. Itu sebabnya kamu merasakan efeknya. Tapi lihatlah, sekarang kamu tidak apa-apa, kan? Luka itu sudah hilang," jawab Pak Samin dengan lembut.

Desi terdiam, mencerna kata-kata Pak Samin. Meski merasa lega, dia masih ada sedikit rasa takut dan tidak percaya. "Jadi, itu semua hanya untuk melindungi kami?"

"Benar, Nak. Tapi saya tidak bisa memaksa kamu untuk percaya. Yang bisa saya lakukan hanya memastikan kamu dan penduduk desa tetap aman," Pak Samin berkata sambil menutup pintu.

Sejak saat itu, Desi merasa sedikit lebih tenang, meski bayangan malam itu masih menghantui pikirannya. Setiap malam bulan purnama, dia melihat dari kejauhan rumah Pak Samin yang selalu tertutup rapat, memastikan tidak ada yang mengganggu ritual yang dilakukan Pak Samin.

Namun, rasa sakit itu tidak benar-benar hilang. Malam-malam berikutnya, Desi sering merasakan nyeri di dadanya, semakin parah saat bulan purnama mendekat. Pada suatu malam, rasa sakit itu begitu hebat hingga Desi pingsan. Keluarganya panik dan membawanya ke rumah sakit, tetapi Desi tidak pernah sadarkan diri. Dia meninggal di tengah malam, dengan luka di dadanya yang kembali muncul dan lebih parah dari sebelumnya.

Desi dimakamkan dengan suasana duka yang mendalam. Warga desa mulai curiga dan merasa ada yang tidak beres dengan Pak Samin. Mereka berkumpul dan memutuskan untuk mengkonfrontasi Pak Samin di rumahnya.

Ketika mereka tiba, rumah Pak Samin terkunci rapat. Warga mendobrak pintu dan memasuki rumah yang gelap dan berantakan. Di tengah ruangan, mereka menemukan boneka kayu yang sangat mirip dengan Desi, tergeletak dengan goresan-goresan yang dalam. Namun, Pak Samin tidak ditemukan di mana pun.

Setelah mencari di seluruh rumah dan sekitarnya, warga menyadari bahwa Pak Samin telah menghilang tanpa jejak. Di salah satu sudut rumah, mereka menemukan buku tua dengan catatan-catatan ritual yang mengerikan. Ternyata, Pak Samin telah mempraktikkan ilmu hitam untuk mencari keabadian, dan boneka-boneka kayu itu adalah bagian dari ritualnya untuk memindahkan nyawa orang-orang ke dalam boneka.

Desa kembali tenang, tetapi bayangan ketakutan akan Pak Samin masih menghantui mereka. Meski rumah Pak Samin kosong, tidak ada yang berani mendekatinya lagi. Sejak saat itu, setiap malam bulan purnama, penduduk desa memastikan untuk mengunci pintu mereka rapat-rapat, dan berdoa agar mereka tidak menjadi bagian dari tabiat Pak Samin berikutnya.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Woww... Awalan yang bagus. Lanjutkan, Kak! Semangat menulisnya 👍💪
Rekomendasi dari Horor
Rekomendasi