Flash Fiction
Disukai
0
Dilihat
655
Patah Bukan Berarti Mati
Romantis
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

2013.

“Tunggu,” seruku sambil mengejarnya, menyibak kerumunan orang. Perempuan berjilbab biru itu terus berjalan menuju gate yang baru saja diumumkan, tak menghiraukan seruanku. Apa dia tidak mendengarku? Aku terus berlari ke arahnya, tapi entah kenapa jarak diantara kami semakin melebar. Aku terengah-engah, berhenti, seiring dengan sosoknya yang menghilang. Tidak, jangan pergi, gumamku, terpaku menatap pesawat yang bersiap lepas landas, tak kuasa menahannya pergi.

“Begitu,” ujarku keesokan harinya, menceritakan mimpiku via telepon, “Jadi jangan pergi, ya,” pintaku padanya. Dia tergelak, memangnya aku mau pergi kemana?

Benar, dia adalah gadis berjilbab biru yang kulihat di mimpiku, orang yang kusukai sejak kali pertama aku menginjakkan kaki di madrasah aliyah. Entah kenapa, mimpi itu membuatku sedikit gusar. Tapi aku segera menenangkan diri, tak apa, itu hanya mimpi.

2017. Hari-hari sangat cepat berlalu. Tak terasa dia sudah menjadi mahasiswi di salah satu kampus ternama di ibukota. Aku pun sudah terbang jauh meninggalkan Indonesia, memutuskan kuliah di luar negeri. Walau begitu, tekadku tetap sama. Aku akan berusaha menghalalkannya.

“Aku tidak bisa memutuskan sekarang,” ujarnya ketika kuutarakan maksudku. Jujur saja, itu sangat mendebarkan kawan. Kau pernah melamar seseorang lewat telepon? Tidak? Aku juga, itu kali pertama. Aku sudah mempersiapkan mental jika ditolak. Tapi tetap saja, penolakan tak akan pernah terasa manis, bukan?

Aku bertanya, berusaha terdengar biasa saja, kenapa? Dia lantas menjelaskan panjang lebar.

“Baiklah.” Aku mengangguk, paham apa yang dia sampaikan. Aku menutup telepon setelah dua-tiga kalimat dan salam, tertegun. Singkatnya, ada seseorang yang lebih dulu berniat untuk melamarnya dan -menurutku- orang itu lebih baik dibandingkan aku, dari semua sisi. Ya, aku mengenalnya, bisa dikatakan kami berteman. Untuk sesaat kurasa sebaiknya aku mundur. Tak apa, walau tidak bersamaku, setidaknya dia bersama orang baik-baik. Itu yang kusampaikan padanya. Dia terdiam, lantas bilang bahwa dia akan menerima siapapun diantara kami yang datang lebih dulu. Kalau dipikir-pikir, orang itulah yang akan datang lebih dulu karena dia masih di Indonesia, sedangkan aku? Seolah mengerti apa yang kupikirkan, dia menambahkan bahwa orang itu akan datang tahun berikutnya, setelah dia menyelesaikan studinya. Itu artinya aku punya peluang yang sama dengan orang itu. Baiklah, aku juga akan berjuang keras dan pulang secepat mungkin. Aku juga berhak bahagia, kan?

2018. Musim dingin sudah lama berlalu. Matahari yang awalnya berbaik hati mengusir dingin, mulai menampakkan sifat aslinya, panas, membakar dan garang, membuat orang-orang tak kuasa menatap langit. Di hari-hari seperti itulah, aku mendapatkan tiket yang bagus untuk pulang, membawa harta benda yang dengan susah payah kukumpulkan demi janji masa depan, berharap impianku segera menjadi kenyataan.

Tapi sayang sekali, aku terlambat, orang itu lebih dahulu datang. Lihatlah, bahkan undangannya sudah disebar. Seketika perasaan kalah kembali menyergapku. Di satu sisi aku senang karena dia bersama orang baik-baik. Tapi di sisi lain, tidak bisa aku pungkiri bahwa rasa sedih dan kecewa itu ada, nyata, merasuk jauh ke dalam hati, membuatku berandai-andai. Seandainya aku datang beberapa hari lebih cepat. Seandainya aku kuliah di Indonesia saja. Tiba-tiba aku kehilangan semangat, merasa hampa, tak ingin melakukan apapun. Semua ini sia-sia, pikirku. Bahkan berbaring di kasur saja membuatku tertekan. Bagaimana tidak, teman-temanku sengaja menghubungiku hanya untuk memanas-manasiku, hei, batal ya? Lihat, dia sudah bersama orang lain. Aduh, kasihan. Aku menghela napas, tak adakah yang berniat menghiburku?

Ting. Pesan masuk. Dari adik kelasku. Perlu diketahui bahwa dia adalah orang yang paling rajin menggangguku. Sepertinya dia sudah menganggapku seperti saudaranya sendiri sehingga dia pikir bisa menggangguku kapan saja. Apa kabar? Begitu isi pesannya. Oi, kabarku jelas sedang tidak baik-baik saja, tapi setidaknya aku merasa nyaman bercerita dengannya. Cerita diantara kami pun mengalir. Lalu, antara iseng dan putus asa, aku menawarkan diri untuk melamarnya. Jawabannya tentu saja tidak. Siapa yang akan serius menanggapi omongan orang yang sedang putus asa? Tapi dia buru-buru menambahkan, semua akan baik-baik saja, Allah akan menggantinya dengan orang yang lebih baik, percayalah, usahamu tidak sia-sia, kau sudah melakukan yang terbaik. Aku tersenyum melihat dia berusaha keras menghiburku. Dia benar. Aku sudah berusaha semampuku, walau hasilnya tak sesuai harapan. Aku menatap langit-langit kamar, lantas beranjak keluar. Saatnya mengakhiri kesedihan ini dan membuka lembaran baru. Lagipula kurasa aku sudah menemukan gantinya.

Ketika kesedihan, kekecewaan atau kehilangan membuatmu patah, kau hanya perlu menemukan cara yang tepat -terkadang orang yang tepat- untuk menumbuhkan kembali dirimu yang baru, karena patah bukan berarti mati.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar