Sudah tiga malam lampu di dalam rumah itu menyala tetapi tak ada yang datang untuk melapor ke rumahku. Isu-isu soal warga baru juga tidak ada. Aku sendiri sengaja tidak mencari tahu sebab aturan mainnya sudah terpampang jelas pada papan plang di samping pintu depan rumahku: Tamu Harap Lapor 1 x 24 Jam -- Ketua RT/RW. Kalau dia tidak melapor, selain melanggar ketentuan hukum, aku merasa tidak dianggap, baik sebagai ketua RT maupun sebagai orang yang dituakan.
Menurut isteriku, Nur, rumah di seberang jalan itu memang masih kosong.
"Lihat," katanya, menuding ke halaman depannya, "daun-daun dan buah mempelan busuk masih berserakan".
Aku setuju. Pendapat isteriku kadang-kadang berterima akal; kalau rumah itu berpenghuni maka halamannya tentu sudah dibereskan, dan pada sore hari, seperti kebiasaan beberapa orang tua di kampung ini, penghuninya mungkin bersantai di teras depan. Tetapi fakta bahwa sudah tiga malam lampu rumah itu menyala tentu tidak bisa diabaikan begitu saja, sebab lampu-lampu hanya akan menyala kalau ada yang menyalakannya. Nur tentu tidak mengetahui hal ini -- dia bahkan menganggapku berhalusinasi -- karena dia biasa tidur selepas salat isa, sedang lampu-lampu itu menyala menjelang tengah malam. Aku mengetahuinya karena aku biasa duduk di teras depan sampai tengah malam. Namun, aku tak melihat seseorang membuka pintu depan. Juga, tak ada kendaraan yang berhenti di depan rumah itu.
Dan malam ini, untuk membuktikan bahwa aku tidak berhalusinasi, aku membujuk Nur supaya menemaniku dan dia bersedia. Kami duduk di kursi tepat di bawah tulisan "Tamu Harap Lapor". Percakapan kami pendek-pendek, diselingi diam yang panjang, dan kami lebih sering mengusap-usap layar gawai ketimbang memandang satu sama lain.
Menjelang pukul sepuluh malam, Nur menyerah.
"Aku sudah tidak kuat lagi," katanya.
"Masih dua jam lagi, Nur," kataku.
"Aku sudah tidak tahan lagi, Jim," katanya.
"Aku ambilkan busa dan selimut, ya?"
"Maksudmu aku tidur di teras ini?"
"Hanya dua jam saja."
Nur menepuk betisnya, seolah-olah ada sesuatu yang menggigit. "Di sini banyak nyamuk, Jim," katanya.
"Tinggal dua jam lagi, Nur."
Nur mengalah. Sekarang dia duduk dengan posisi kepala menengadah, berusaha membuka matanya lebar-lebar. Cahaya lampu membuat kantung matanya terlihat penuh; dan usia, bagaimanapun, telah membuat kulitnya menyusut seperti jahe kering. Dulu dia cantik sekali.
"Jim!"
"Ya!"
"Aku sudah tidak kuat lagi, sungguh!"
Aku tahu. Aku bisa melihat dari matanya. "Tinggal satu jam lagi," kataku, "dan kau akan melihat lampu rumah itu menyala".
"Rumah itu sudah kosong sejak lima tahun lalu, Jim".
"Aku tahu. Tapi sekarang sudah ada yang menempatinya".
"Kalau benar, penghuninya tentu akan datang melapor."
"Nah, itu masalahnya, Nur."
"Jadi tak ada yang datang melapor?"
Aku menggeleng.
"Hem ..."
"Menurutmu bagaimana, Jim?"
"Aku sudah tidak kuat lagi, Jim. Kau lihat mataku?" Nur mendekatkan wajahnya padaku. "Kau lihat kelopak mataku ini?"
Aku mengangguk. "Kau boleh masuk kalau kau mau."
"Selamat malam."
Nur berdiri, berjalan ke pintu, masuk ke dalam rumah, sedang aku tetap tinggal di teras. "Masih satu jam lagi," pikirku.
Tepat jam dua belas malam, aku membuka pintu pagar, berjalan menyeberangi jalan, berhenti di depan rumah kosong itu, menyalakan kontak lampu, lalu kembali ke rumah dan menutup pintu. Semoga besok ada yang datang melapor ke rumahku.*