Gemericik air hujan lungsur, membasahi helai demi helai daun yang bergoyang di hampar kebun belakang. Sederet pohon kembar delapan –setinggi dua meter– berdiri kokoh menantang hembusan hawa dingin. Wangi sangrai biji kopi menguar hingga ke kamarku, yang hanya disekat tirai kerang dari Pangandaran.
Aku terbangun, desir liurku naik hingga kerongkongan. Haus.
Nini duduk bersila, kain batiknya tersingkap, mengumbar betisnya yang bergelembur. Nini sudah tak muda, tapi jiwanya penuh pembangkangan. Pada nasib, pada masalah hidup, serta anak cucunya yang seringkali tak beruntung. Nini berwatak keras, untuk itulah, kita –semua– berhutang jasa padanya.
“Karek hudang maneh?” (kamu baru bangun?) sapanya kasar. Begitulah cara Nini menyayang.
Tangan kerimutnya mengepal cangkir kopi pekat, menyesapnya perlahan, aaah… Nini mendesah. “Ngeunah (enak),” bisiknya.
“Kopi apa, Ni?”
“Puntang,” pungkasnya. Ia bahkan tak menoleh.
Aku meraih moka pot-ku, menjerang bubuk kopi sendiri dengan sedikit air. Berbeda dengan Nini, aku punya cara sendiri memanen kafein dalam darah.
“Nanaonan maneh (Ngapain kamu), Ijem?”
“Kirana, Ni.”
“Ah, Ijem.” Ia mencomot sebutir hui boled. Mengupas, lantas melumatnya dengan lahap. Wajahnya datar, Nini begitu bandel memanggilku dengan nama kesayangan yang dipilihnya.
“Ni… mau coba?” Aku menyodorkan kopi racikanku.
“Ngeunah kitu?” (enak gitu?)
“Cobian weh.” (Cobain aja).
“Embung, ah, teu ngeunah.” (Nggak mau, gak enak.)
Aku geleng-geleng. Menghirup wangi aroma yang menggelitik, menikmati hangat uapnya yang menyapu wajah. Sesap pertamaku pecah di lidah. Pahit; pekat; wangi rempah; berganduh jadi satu dengan liur di mulutku. Kopi adalah caraku menyapa pagi, sepahit apapun yang akan kulalui hari ini, kafein membuatku berani.
Nini menatap gerak-gerikku. “Kopi ti mana?” (Kopi dari mana?). Ia beringsut, menghirup aroma di cangkirku.
“Ini biji Sidikalang, kopi robusta,” paparku sambil menyodorkan sebungkus bubuk kopi dari lemari. “Coba deh, Ni. Di ujungnya, ada rasa coklat pecah di lidah.”
Nini tampak tertarik, tapi ia masih bergeming. Buatnya, kopi tanah priangan –dari kebun sendiri– tetaplah menjadi pilihan.
“Bade nyobian?” (Mau coba?)
Ia menggeleng.
“Ni, biji kopi itu kalau dipadukan dengan alat modern, tentu kualitasnya jadi lebih mahal,” paparku. “Itulah kenapa petani kopi banyak yang nggak paham, dan menjual biji kopinya dengan murah.”
Nini mengibaskan tangan. “Mapatahan kolot maneh mah, Ijem!” (Nasihatin orang tua, kamu Ijem!) Ia diam sejenak. “Cik, ngeunah teu?” (Sini, enak nggak?)
Aku tergelak. Mimiknya tampak lucu, bibirnya mengerut, bola matanya berkilat. Aku tahu saat Nini punya mau.
Bergegas aku jerang bubuk kopi dalam moka-pot, membuatkannya secangkir kopi pilihanku.
Setelah tersaji di meja, aku melengos meninggalkan Nini. Membiarkan ia bercengkrama dengan wangi kopi barunya.
***
Harga sekarung beras naik lagi, begitu kata televisi. Aku sebagai warga kelas pekerja, tentu merasa kalut. Tapi tak begitu dengan Nini. Ia masih menggerakkan tangannya di atas wajan, mengaduk, dan memilah kayu bakar yang dirasanya lebih kering dari bilah kayu yang lain. Nini menyangrai biji kopinya hingga semerbak, mendinginkannya dalam kuali, lantas menggiling hingga halus. Memilahnya sukat demi sukat, untuk pelanggan yang mengetuk pintu dapur kami.
Buatnya, mahal atau murah, mudah atau rumit, hidup tetap dijalankan dengan paripurna tanpa berkeluh dan mengumpat. Buat Nini, asal ada secangkir kopi, dan sepiring hui boled, hidup akan terasa mudah dan sederhana. Lihatlah aku, tumbuh sempurna sebagai manusia, lewat cara Nini berniaga.
“Ijem, hayang kopi Kalang-Kalang.” (Ijem, mau kopi Kalang-Kalang).
“Sakedap, Ni, ditinyuh heula.” (Sebentar Ni, diseduh dulu). Alih-alih menggunakan moka-pot, kali ini aku menyeduhnya ala Nini –menjerang biji kopi hasil kebun sendiri. Manual brew ala Rohaya.
Dari Jawa Barat hingga Sumatera Utara, Nini menikmati kopi dengan caranya, meredam lelah dengan cara yang begitu sederhana.
Ia menyesap kopi panasnya perlahan seteguk demi seteguk, sambil menatap pohon kopi yang berderet sama tingginya, bersama kesiur angin dan gerimis pagi menjelang siang.
Rohaya dan Sidikalang, kini bersahabat, melumerkan batasan-batasan geografis dan cara pandang kesukuan. Kopi adalah kopi, sebuah simbol perjuangan menghadapi kepahitan.