Kami sudah memesan dua porsi sate sebelum mengambil tempat di meja kecil dengan dua buah kursi yang saling berhadapan. Di atas meja ada sekotak tisu dan sebotol kecap dan aku meletakkan kunci sepeda motor dan gawai di atasnya dan Nur juga melakukan hal yang sama. Permukaan meja terasa agak lengket dan berminyak. Aku mencabut selembar tisu dan mengelap permukannya ketika mendengar suara pesan masuk yang disertai getararan halus pada permukaan meja. Nur mengambil gawainya, menekurinya, dan aku melihat bentuk layar itu pada kacamatanya yang berbingkai plastik. Dia cantik sekali dalam balutan jilbab coklat. Aroma pakaiannya juga wangi.
Nur masih menekuri gawainya ketika seorang pelayan menghampiri kami, menanyakan kami mau minum apa.
"Kamu mau minum apa, Nur?" tanyaku.
Pelayan itu memakai baju kaos coklat dan celana panjang dan celemek lusuh melintang di depan dadanya. Dia berdiri tepat di samping meja kami sehingga aku bisa mencium bau celemeknya.
"Kalau kamu, Jim?" Nur membetulkan letak kaca matanya sesudah meletakkan gawai.
"Sama saja," kataku, sambil tetap mengelap permukaan meja.
"Maksudmu?"
"Maksudku, apa yang kamu pesan, itu pula yang aku pesan".
"Mengapa begitu?"
Aku mengangkat bahu dan melihat kerutan halus di antara kedua alisnya sebelum dia mengalihkan pandangan pada pelayan yang sekarang memandanginya.
"Saya pesan air putih hangat saja," katanya.
"Kalau saya pesan air jeruk peras," kataku. "Yang dingin, ya!"
"Air putih hangatnya, Pak?" tanya si pelayan.
Aku mengibaskan tangan. "Tidak jadi."
Sekali lagi, aku melihat kerutan halus di antara kedua alis Nur -- kererutan itu terlihat lebih jelas sewaktu dia kembali menekuri gawainya. Setelah itu, suasana kembali seperti semula. Aku tetap mengelap permukaan meja dengan selembar tisu yang sudah mengecil seperti kerikil sedangkan Nur tetap dengan gawainya.
Dua orang pelanggan datang dan duduk di meja di sebelah kami. Di belakangnya, di meja lain, terlihat sepasang muda mudi yang sepertinya seumuran dengan kami dan mereka sudah selesai makan dan sekarang mereka sedang bercakap-cakap dan sepertinya percakapan mereka menyenangkan. Aku sedikit iri melihat mereka. Di meja lain, di depan dua orang tadi, terlihat sepasang suami isteri dan seorang anak perempuan berusia sekitar empat tahun. Rambutnya dikepang dua.
"Sampai kapan kau mau mengelap meja, Jim?" kudengar Nur berkata.
"Kau sibuk sekali," kataku.
"Tidak juga," Nur kembali meletakkan gawainya di atas meja.
Aku memandang ke depan ke tempat pemanggangan. Ada seorang laki-laki berkepala botak berbadan gendut di situ. Dia memakai kaca mata tebal dan tangannya sangat cekatan mengipas-ngipas bara batok kelapa sambil membalikkan panggangannya. Asap putih mengepul, bercampur percik bara api yang melayang-layang, lalu padam. Karena warung ini berada dekat dengan pinggir jalan, aku cukup yakin kalau orang-orang yang lalu-lalang dapat mencium aroma asap bercampur bau daging panggang.
"Lama juga," kataku.
Pelayan tadi mendatangi kami dengan membawa sebuah nampan berisi dua gelas minuman lalu pergi tanpa mengatakan apa-apa. Setelah itu, dia datang lagi membawa dua piring sate yang beraroma kuah kacang dan daging panggang. Nur mengambil botol kecap, menuangkan sedikit ke atas sate, lalu merapalkan doa dengan kedua tangan merapat di dada.
"Jadi, apa yang kamu mau bicarakan, Jim?"
"Tidak ada," kataku, tanpa melihat ke arahnya.
Aku seperti baru tersadar kalau dia sedang duduk di hadapanku. Dan entah mengapa, aku merasa kalau kami adalah sepasang kekasih yang bahagia.
"Jadi tak ada yang kamu mau bicarakan?"
"Tidak ada," kataku.
"Sate di sini enak sekali, Jim."
"Ya! Kau sering makan di tempat ini, Nur?"
"Tidak juga. Kalau kamu, Jim?"
"Tidak juga."
"Jadi, apa yang kamu mau bicarakan, Jim?"
"Tidak ada."
Kalaupun ada yang mau aku katakan, aku hanya ingin berterima kasih karena dia mau makan malam bersamaku. Itu saja. Dia tak perlu tahu betapa sudah sejak lama aku mencintainya.*