Pelataran Kampung Bualang terdiri dari dua bagian yang memanjang sejauh dua ratus meter di atas sungai Carang dan aku sering memancing di ujungnya yang berbentuk setengah lingkaran. Tempat ini cukup luas dan berpagar semen dan para penggunana sepeda motor dari jalur sebelah kiri sering menggunakan tempat ini untuk berbelok. Pada siang hari, ketika cuaca sedang cerah, kita bisa melihat sungai Carang yang berair keruh, lebar dan panjang; di satu sisi ia bermuara ke laut, di sisi lain ia menyelinap di bawah jembatan sebelum akhirnya menyusup di antara pohon-pohon Bakau di sebelah Selatan. Sementara itu, di seberang pelataran terlihat pohon-pohon dan bukit-bukit gundul berwarna coklat tanah liat dengan latar langit biru dan gumpalan awan putih. Kadang-kadang, kita juga bisa melihat kapal kargo seberat ribuan ton melintas, datang dan pergi, dari pelabuhan Sri Indah Bestari -- yang bersebelahan dengan Kampung Bualang -- ke luar Tanjungpinang. Sungai ini memang merupakan jalur perlintasan kapal sejak zaman Kesultaan Riau-Lingga.
Pada sore hari, pemandangan matahari terbenan di balik atap rumah dan aroma lumpur menyulap tempat ini menjadi arena bermain anak-anak. Mereka memainkan apa-apa saja yang mereka bisa mainkan; bersepeda, kejar-kejaran, bermain bola, sementara orang tua mereka mengawasi dari kejauhan. Karena itu, aku lebih senang memancing di sini pada malam hari karena suasananya tenang dan nyaman sekali. Hembusan angin dan kecipak air sungai yang menghantam tiang-tiang terdengar jelas. Sebuah lampu yang dipasang pada kedua sisi pelataran dinyalakan pada pukul enam sore.
Tetapi, aku jarang sekali mendapatkan ikan. Aku tak seberuntung Rudi. Malam sebelumnya dia mendapat dua ekor ikan duri seberat lima kilo. "Tarikannya kuat sekali, bung," katanya, lalu memperagakan bagaimana ketika dia menarik ikan itu keluar dari air. "Kau mau lihat fotonya?"
"Tidak usah," kataku. "Kapan kau ke sana lagi?"
"Memancing?"
"Ya!
"Aku belum tahu, tapi aku rasa dalam waktu dekat."
Dan malam ini aku sengaja membawa lebih banyak perbekalan karena aku baru akan pulang menjelang subuh. Kata Rudi, ikan itu baru mau makan sekitar jam 3 atau jam 4, atau pada saat air laut bergerak pasang atau surut, dan sekarang sudah jam 3 tetapi belum ada seekor ikan pun yang menarik pancingku. Air laut sudah naik pasang sejak tadi, dan aku sudah tidak kuat lagi. Mataku benar-benar berat. Dingin air sungai seperti menusuk ke tulang-tulangku.
Aku baru saja mengemasi pancing dan perbekalan ketika mendengar suara sepeda motor mendekat. Aku menoleh ke belakang. Cahaya lampunya membuat mataku perih. Ketika sepeda motor itu lewat di sampingku, dari helm-nya, aku langsung tahu kalau pengendaranya adalah tukang ojek dan dia datang untuk mengantar seorang perempuan. Mereka berhenti di dekat tiang lampu. Tukang ojek tersebut langsung berbelok dan pergi begitu saja setelah perempuan itu turun. Aku yakin kalau dia sudah biasa mengantar perempuan itu.
Yang tak biasa justru caraku melihat perempuan itu. Dia memakai baju singkat dan celana jeans sepanjang satu setengah jengkal sambil menenteng tas kecil. Rambutnya lurus sebahu. Sewaktu dia turun dari sepeda motor, aku sedikit khawatir hak sepatunya akan patah. Aku senang sekali ketika kemudian dia menanggalkan sepatu itu dan memilih bertelanjang kaki. Permukaan pelataran ini memang tidak rata dan itu adalah keputusan yang tepat. Hanya saja, dia sama sekali tak melihat ke arahku; aku memerhatikannya sampai dia masuk ke salah satu rumah melalui pintu samping.
Pada malam berikutnya aku datang lagi dan duduk di dekat tiang lampu menjelang pukul 3. Aku harap bisa bercakap-cakap dengan perempuan itu. Tetapi ketika sepeda motor itu datang lagi dan perempuan itu turun, dia sama sekali tak menoleh ke arahku. Di belakangnya, aku mencium harum bunga liar yang bercampur bau alkohol dan itu membuatku ingat pada seseorang. Dia mirip sekali dengan Nur.
Ketika kemudian dia sudah semakin jauh, aku agak kecewa pada diriku sendiri karena kesulitan memilih kata-kata untuk menyapanya. Seharusnya aku mengatakan 'hai!' atau, 'sudah pulang?' Atau, 'sepertinya dingin sekali'. Ah, konyol sekali. Kecuali itu, aku dapat melihat wajahnya yang putih pucat, poninya yang tampak seperti sisir, juga bibirnya yang terlihat merah ditimpa cahaya lampu. Sepertinya aku memang mengenal dia. Tetapi dengan penampilan itu, selain baju dan celananya yang terlihat terlalu pendek dan sempit, tidak bisa tidak, aku menduga kalau dia adalah perempuan kafe.
Malam berikutnya, sekitar pukul setengah dua, sepeda motor yang biasa mengantar perempuan itu berhenti di pangkal pelataran sehingga dia harus berjalan kaki. Aku nyaris tak menyadari kalau dia sudah berada di belakangku karena dia bertelanjang kaki.
"Sendirian saja?" katanya, berjalan ke sampingku sambil menenteng sepatu dan jeket. Dia memandang permukaan air sungai yang terlihat gelap dan beriak-riak di dekat pelataran. Angin yang datang membuat rambutnya goyang.
"Begitulah," kataku. "Sepertinya kau pulang lebih awal malam ini."
"Tahu dari mana?"
Aku mengangkat bahu.
"Kau masih mengenalku, Jim?"
Aku menoleh ke samping, mendongak. "Nur?"
"Setelah bertahun-tahun, aku masih mengingatmu, Jim. Apa kau lupa padaku?"
Jantungku seperti tertusuk dingin sungai mendengar kata-katanya. Dan sekarang aku ingat; ya! Dia adalah Nur. Sepertinya dia baik-baik saja.***