Aku mulai menulis Cerpen satu bulan lalu dan berharap bisa menghasilkan uang tetapi aku selalu kesulitan mengembangkan alurnya. Aku membaca buku-buku menulis kreatif dan tetap tidak kreatif walaupun aku sudah membacanya setiap hari; semua yang ditawarkan buku-buku tak lebih dari sekadar motivasi dan tips-tips yang dalam banyak hal terkesan mengada-ada. Fakta ini membuatku setengah putus asa dan mendekati kata 'menyerah.' Sepertinya aku memang tak berbakat, pikirku.
Aku menceritakan keluhanku kepada Nur dan dia menyarankan supaya aku menemui Rudi.
"Dia pasti mau membantumu," katanya.
Aku agak ragu soal ini. Rudi adalah mahasiswa Fakultas Ekonomi dan salah satu penulis aktif di majalah Laksamana. Setelah kami bertemu, dia tidak bisa berbuat banyak kecuali menasehatiku agar tetap menulis. "Kau pasti bisa," katanya. "Bakat berarti 99% kerja keras dan 1% ilham," dia mengutip kata-kata Thomas Alfa Edison. Aku mengetahuinya karena kata-kata kramat itu juga kutemukan dalam buku-buku menulis kreatif yang tak membuatku kreatif.
"Aku ragu," kataku.
Rudi terlihat murung mendengar jawabanku.
Seminggu kemudian, ketika mengikuti seminar Menulis Kreatif yang diselenggarakan oleh kampus, aku berkata bahwa aku akan mengirimkannya satu cerpen setelah kegiatan tersebut berlangsung. Dia panitianya.
"Aku tunggu," katanya.
Sebenarnya, aku mengikuti seminar itu demi mendapatkan nasi kotak. Itu saja. Tetapi, Rudi rupanya berharap banyak karena aku jurusan Bahasa Indinesia. Menurutnya, entah berdasarkan pertimbangan apa, mahasiswa Bahasa Indonesia jago-jago dalam menulis. Dia sering menemuiku pada waktu luang dan mengajakku membicarakan Cerpen di kantin. Karena aku tahu dia yang akan membayar, setidaknya segelas minuman, aku selalu meng'iya'kan.
"Jadi, sampai di mana Cerpen yang kau tulis?" tanyanya, pada pertemuan kami yang pertama.
"Masih mentok di bagian pembukaan," kataku.
"Itu bagian yang sulit," katanya. Dia kemudian meyakinkan dirinya sendiri kalau aku bisa melakukannya.
"Kapan majalah Laksamana menerbitkan edisi terbaru?" tanyaku, sekadar basa-basi.
Aku tahu majalah itu terbit setiap dua minggu sekali dan setiap terbitan memuat berbagai kegiatan di kampus dan karya-karya mahasiswa dalam bentuk Cerbung, Cerpen, dan Puisi. Aku sering membaca sampul majalah itu karena ia dipajang di Mading Fakultas.
"Em," gumam Rudi, "kira-kira delapan hari lagi."
Setiap tulisan yang diterbitkan, kata Rudi, harus melalui tahap seleksi. Dia salah satu kuratornya. Apabila ada tulisan yang layak 'muat' tetapi penulisannya tidak beres, katanya, dia juga yang akan mengeditnya. Dengan kata lain, dia kurator sekaligus editor dan sekarang dia duduk di depanku sebagai motivator.
"Kau hebat sekali, Rudi," kataku, memikirkan ketiga profesi itu.
Rudi mengibaskan tangan. "Biasa saja, Jim. Kau lebih hebat dariku. Kau hanya tak ingin menunjukkan karyamu".
"Aku masih mentok di bagian pembukaan," kataku.
"Hem," gumam Rudi. "Aku jug sering seperti itu".
"Benarkah?"
"Aku rasa setiap penulis pernah mentok di bagian pembukaan".
Aku merasa tidak sendirian soal ini. Pada pertemuan kami yang berikutnya, sekitar tiga hari kemudian, Rudi memintaku menunjukkan hasil tulisanku. Dia sedikit memaksa walaupun aku sudah bilang kalau ceritaku belum selesai.
"Biar aku bantu," katanya.
Aku mengeluarkan selembar kertas yang penuh coret-coret di sana-sini. Dia memandanginya, bertanya kalau ada yang tidak bisa dia baca, mengangguk jika dia merasa menemukan kalimat yang bagus, dan akhirnya dia berkata; "Sudah kuduga, tulisanmu bagus sekali."
"Benarkah?" Aku tak yakin soal ini.
"Kita bisa memuatnya minggu depan. Ya! Aku tahu kau bisa menulis bagus. Anak-anak bahasa memang jago-jago menulis".
"Tidak juga," kataku, mengingat hanya satu dua orang yang sesekali karyanya terbit di Majalah Laksamana. "Kau pernah membaca tulisanku sebelumnya?"
"Ya," katanya. "Aku pernah membaca puisi yang kau tulis untuk adikku".
"Nur?"
"Ya! Nur. Dia memintaku menemuimu".
Aku jadi merasa bersalah karena tidak memanggilnya 'Abang'.***