Flash Fiction
Disukai
0
Dilihat
1,615
Seperti Permen
Drama

Aku mengajar Ibu Katya pada hari ketiga, tepatnya pada hari Jumat. Dia seorang Australia yang sedang belajar bahasa Indonesia selama dua minggu.

Di tempat kami, terdapat sebuah program kerjasama yang memang dijalin dengan perusahaan tempat dia bekerja di Australia.

Perjanjiannya adalah mereka akan mengirim staf mereka ke tempat kerjaku dalam beberapa bentuk kegiatan, yang salah satunya ini adalah program dua minggu, brush up skills, sebelum siapa saja yang dikirim itu mengambil ujian di perusahaanya.

Jangan salah! Ujian ini sangat penting untuk mereka sebab ini berperngaruh dengan kenaikan insentif mereka.

Aku diminta untuk mengajarkan keterampilan Menyimak. Itu artinya aku harus menyiapkan satu rekaman video otentik tentang kehidupan sosial Indonesia beserta transkrip dan latihannya untuk pelajaran dua jam seperti format yang telah diberikan.

Di hari Jumat itu aku datang satu jam lebih awal. Selalu begitu. Itu salah satu caraku untuk mempersiapkan diri dan menghindari kepanikan dan kekhawatiran macet jika datang terlalu dekat dengan waktu mengajar.

Aku sudah bertemu dengan Bu Katya sebelumnya. Dia sangat tinggi, jelas berkulit putih dan berhidung mancung. Dua hal yang sangat kentara darinya adalah rambut kuningnya yang begitu lurus dan di atas bahunya dan pupil matanya yang hijau.

Usianya yang sudah setengah abad tidak bisa lagi menyembunyikan wajah kerutan di wajahnya. Namun, aku menduga sepertinya dia sendiri tidak bermaksud untuk menyembunyikannya.

Secara keseluruhan, wajahnya tidak terlalu ramah dan itu yang sebenarnya membuatku agak segan mengajar di kelas itu. Plus, sebelumnya aku sudah mendengar dari beberapa guru bahwa ibu yang satu itu 'agak sulit untuk dikendalikan'.

Kami duduk berhadapan dengan pengaturan kelas hanya one on one dan bersalaman sebelum akhirnya aku memperkenalkan diri.

"Hari ini saya akan belajar tentang isu sosial ya?" Dia bertanya.

"Benar," jawabku.

"Uhm." Dia menganggukkan kepalanya.

"Saya akan menjelaskan dulu agenda kita hari ini." Aku mencoba menjelaskan.

"Tentu saja," ujarnya dengan ramah.

Lalu aku mulai menjelaskan agenda yang akan kami lakukan pada hari itu. Aku mulai menjelaskan bahwa aku sudah menyiapkan video dan latihan serta transkripnya untuk kegiatan belajarnya. Aku juga menjelaskan harapanku dari topik itu adalah bahwa dia bisa menjelaskan isu sosial di negaranya. Itu untuk melatihnya berbicara dan aku berpikir itu lebih bermakna agar kami lebih banyak diskusi tentang kehidupan sosial di negara kami masing-masing.

"Tapi, sebelumnya, saya merasa bahwa kita harus berkenalan dulu," ujaku.

"Oh, saya setuju tentang itu. Bagaimana kita akan melakukannya?" tanyanya dengan nada yang lebih ramah.

"Anda bisa mulai dengan bercerita apa saja tentang Anda. Saya tidak akan memberikan poin-poin karena khawatir itu tidak sesuai dengan budaya Anda. Silakan bicara apa saja dengan santai! Saya akan mendengarkan. Tapi, jika ada kata-kata atau hal-hal yang tidak tepat ketika Anda bilang itu dalam bahasa Indonesia, saya akan memperbaiki langsung. Boleh?" tanyaku.

"Oh, tentu saja." Dia mulai terlihat berbeda, lebih tenang dan tampaknya mulai banyak bicara.

Hampir setengah jam dia berbicara tentang dirinya sendiri. Lalu setelah itu, dia mulai berbicara hal pribadi dan aku agak kaget sebab ini pertemuan pertama kami dan dia orang Australia pula. Yang aku tahu, orang-orang dari budaya barat seperti itu tidak mudah untuk mengungkapkan kehidupan pribadi mereka.

Dia mulai bicara perihal rumah tangganya yang berjalan tidak baik. Suaminya selingkuh dengan sahabatnya dan meninggalkan dia setelah hampir 25 tahun pernikahan mereka.

"Jadi, Ibu," ucapnya sambil melirik ke arah jam dinding yang menyisakan waktu belajar kami hanya 10 menit lagi.

"Maafkan saya berbicara melantur sepagi ini.Satu-satunya hal yang bisa saya banggakan di sini adalah karena saya mampu berbicara hal yang sangat menyakiti hidup saya dan anak saya dalam bahasa yang lain. Apakah Anda paham maksud saya?" Ibu Katya menatapku.

Sebenarnya, aku sudah terbiasa dengan ini. Siapa saja yang kenal denganku akan tiba-tiba berbicara tentang kehidupan pribadinya bahkan di perkenalan pertama. Itu aneh! Kehidupan pribadi mereka yang aku dengar selalu pengalaman yang sedih atau bahkan menyakitkan dan mereka bisa dengan mudah menumpahkan semuanya kepadaku.

Well, di satu sisi itu bagus. Ada sensasi kelegaan di sana. Namun, di sisi lain, aku mulai berpikir bahwa dulu aku terlahir sebagai tempat sampah sebab orang bisa dengan mudah membuang semua hal tidak bagus ke sana.

"Ah, ya, tidak apa-apa! Dan saya sangat paham dengan semua yang ibu bicarakan. Bahasa Indonesia Anda sangat bagus!" Aku memujinya dan itu benar bahwa keterampilan bahasa Indonesianya sangat bagus.

"Ini hari pertama saya berbicara dengan lama dalam bahasa Indonesia dalam topik yang sangat pribadi pula. Ini menyenangkan," ujarnya.

"Anda tidak bicara ini kepada guru selain saya?" tanyaku penasaran. Aku khawatir keceplosan ketika guru lain bertanya tentang yang kami lakukan di dalam kelas.

"Sebenarnya ini sangat aneh. Saya tidak bicara ini kepada guru lain. Hanya Anda. Lucu ya?" Ibu Katya mengangkat kedua alisnya.

"Kalau begitu saya akan mengunci mulut saya rapat-rapat dan tidak akan bicara apa-apa tentang kelas kita hari ini," sahutku sambil mendekatkan jari ke bibir dan membuat tanda mengunci mulut.

Dia tertawa kecil lalu berterima kasih.

"Minggu depan, Ibu akan mengajar saya lagi?" tanya dia sebelum kami mengakhiri kelas.

"Iya, benar." Aku menganggukkan kepala sambil beranjak dari dudukku.

"Bagus. Saya akan mempelajari ini di hotel. Terima kasih untuk hari ini," ucapnya sambil menyodorkan tangannya.

"Sama-sama," jawabku sambil menerima uluran tangannya.

"Mari kita buat hubungan kita seperti permen," ujarnya sambil tersenyum.

"Eh?" Aku tak paham dan dengan refleks mengernyitkan alisku.

"Hubungan manusia itu harus seperti permen, manisnya terasa bahkan sampai emutan terakhir, bukan?" Dia tersenyum.

"Ah, begitu." Aku menganggukkan kepala lalu tersenyum.

Aku pamit dan keluar dari kelas. Di telingaku masih terngiang perkataannya tentang 'seperti permen'.

Hari itu sepertinya aku tidak mengajar, tetapi belajar.

Oh, ini membuatku bahagia.

Tamat

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Drama
Rekomendasi