Aku masuk ke ruang kelas. Masih kosong dan sepi. Jam dinding di depan kelas menunjuk ke angka empat kurang lima menit. Manik mataku melirik keluar jendela, semburat kuning menembus kaca menyinari ruangan. Sore ini lumayan cerah, tidak terlihat awan menggantung di langit.
Aku duduk di kursi yang biasa aku tempati sambil menunggu mereka. Teman-teman sejak pertama aku datang ke kampus ini biasanya datang pada pukul empat tepat. Lalu kami akan mengobrol sambil tertawa-tawa membahas segala hal selama berjam-jam.
“Ciara, kamu sudah sampai duluan,” sapa Gisel sambil tersenyum lebar. Ia duduk di sebelahku. Aku balas tersenyum sambil menganggukkan kepala. Lalu satu persatu teman-temanku berdatangan.
“Hai, semua. Bagaimana hari kalian?”
“Eh, tadi aku lihat cowok itu lagi, lho! Dia kelihatan makin imut. Kyaaaa…,”
“Hoi, tau nggak, Dosen berbadan besar yang dahinya kinclong itu, tadi ban mobilnya kempes semua. Kayaknya ada yang jahilin.”
Mereka semua mulai bercengkerama. Aku memperhatikan mereka dengan antusias sambil sesekali ikut tertawa.
“Umm, Ciara… kamu sudah bisa ingat-ingat kejadian itu belum?” Sherly bertanya hati-hati sambil memiringkan kepala menatapku. Yang lain berhenti mengobrol dan tertawa lalu duduk mengelilingiku. Aku hanya bisa diam sambil menggigit bibir dan menggeleng lemah.
“Nggak apa-apa, pelan-pelan nanti juga ingat,” Fadli menepuk lembut bahuku. Aku menatap mereka satu persatu sambil tersenyum pahit.
“Ehmm… sebenarnya sih, aku juga nggak begitu ingat kejadian waktu itu dengan detail. Aku cuma ingat waktu Diana menubruk dan mendorongku untuk menghindari peluru. Tapi akhirnya kami berdua memang tidak bisa selamat,” Nadia menggenggam jemari Diana sambil tersenyum pahit.
“Aku masih ingat kalau ada janji untuk menemani Rena ke toko buku sepulang kuliah. Tapi…,” Ferdian menatap Rena yang duduk di sebelahnya dengan pilu. Rena tersenyum maklum lalu menyandarkan kepala di bahu Ferdian.
“Kalau aku masih bisa mengingat ketika cowok sinting itu masuk ke ruang kelas dan berteriak-teriak sambil mengacungkan senapan. Di pinggangnya juga terselip beberapa pistol. Kemudian semua yang di dalam kelas menjerit panik dan ketakutan. Tiba-tiba seorang cowok lain maju menyerang cowok sinting tadi dan suara tembakan terdengar berkali-kali. Aku hanya merasakan panas dan perih menusuk sesaat di kepala. Lalu… seperti sekarang ini jadinya,” Friska menatap kosong ke depan.
Ya, inilah kami. Terjebak diantara dua dunia. Jiwa kami masih bersemangat melanjutkan hidup, tapi raga kami tidak mendukung. Mungkin benar menurut cerita yang pernah kudengar semasa hidup, jika yang mati merasa ada urusan yang belum terselesaikan maka mereka akan tetap berkeliaran di dunia untuk menyelesaikannya.
Beberapa dari kami bahkan tidak begitu ingat bagaimana atau kenapa kami mati. Aku sendiri hanya ingat sorot cahaya terang yang semakin mendekati, kemudian tubuhku seperti dihempaskan dengan keras ke aspal. Sesaat terasa ngilu dan perih yang tak terkira di sekujur tubuhku, lalu hilang begitu saja. Dan aku termangu sejenak menatap kerumunan orang di jalan. Tidak tahu apa yang mereka ributkan. Karena bingung, aku berbalik dan berjalan pelan tak tentu arah. Tahu-tahu aku sampai di depan kampus ini dan bertemu dengan teman-teman baruku ini satu persatu.
Tadinya aku tidak mau percaya dengan omongan mereka soal kondisiku sekarang ini yang sama dengan mereka. Namun lama-kelamaan semua keganjilan yang kurasakan seolah mendorongku untuk menerima kenyataan pahit bahwa hidupku memang sudah berakhir.
Teman-temanku ini selalu datang tepat pukul empat sore. Waktu kematian mereka di kelas ini. Di mana terjadi penembakan oleh salah seorang mahasiswa yang diduga mengalami tekanan jiwa. Menurut cerita mereka, banyak yang tewas di saat kejadian itu berlangsung.
Beberapa arwah dari korban tewas masih berkeliaran di kampus dan sekitarnya. Bahkan ada juga yang tidak menyadari bahwa mereka sudah berbeda dengan yang masih hidup. Mungkin mereka masih merasa bahwa kelas yang berlangsung saat ini harus mereka ikuti hingga selesai. Atau mungkin juga mereka tidak mau menerima bahwa hidup mereka sudah berakhir. Itulah sebabnya, beberapa ruang kelas tidak berani dimasuki oleh siapapun pada sore hari semenjak kejadian itu.
Aku tidak tahu apa yang menahanku di dunia ini. Hanya ada rasa mengganjal di dalam dada. Isi pikiranku berkecamuk, tidak bisa diajak fokus. Aku tidak ingat waktu itu sedang apa dan di mana. Atau sudah berapa lama aku menjadi seperti ini.
Suara kursi berderit mengalihkan perhatian kami. Semua mata memandang ke arah cowok yang baru duduk di kursi paling depan di dekat pintu.
“Hai, kamu baru di sini?” sapa Denis ramah.
Cowok tadi menoleh dengan wajah terkejut. Ia terpana menatap kami.
“Kalian… kalian bisa melihatku?” ia terbata pelan.
“Kamu juga bisa melihat kami, kan,” jawab Alyssa sambil tersenyum.
Wajah cowok tadi berubah muram, kepalanya menunduk. “Ternyata… sudah berakhir, ya. Tadi sepeda motorku menyerempet sebuah mobil. Lalu dari arah berlawanan ada sebuah bus. Dan… dan… aku tidak ingat lagi…”
“Kamu boleh kok gabung bareng kita di sini. Mungkin aura kami yang sering berkumpul menarik perhatian yang baru seperti kau dan Ciara. Nanti juga ada yang datang lagi ke sini,” Ferdian tiba-tiba muncul di sebelah cowok tadi seraya tersenyum.
Cowok tadi menatap kami semua dengan ragu sejenak, kemudian tersenyum tipis. Lalu kami semua duduk merapat dan kembali mengobrol sambil sesekali tertawa.