“Kenapa kamu kupas bawang di kamar, sih?” tanyanya, saat mendapati semangkuk bawang di meja kamar.
Suara dalam dan berat itu membuat wanita di hadapannya bergerak spontan; mengelap genang air di sudut mata dengan telapak tangan bau bawang. Ia semakin tak bisa membuka kelopak matanya.
“Kebiasaan,” kata Laka. Ia mengambil sapu tangan di saku kemejanya. Lalu menyodorkan pada istrinya yang terduduk di pojok ruangan dengan hidung dan mata memerah.
Melihat sapu tangan itu lecek dan kumal, bibir si istri menyebik. Dan Laka paham akan penolakan itu. Akhirnya, ia simpan kembali sapu tangan itu.
“Kamu kenapa belum tidur? Ini sudah tengah malam, loh?” tanya Laka. “Kamu nunggu aku?” tanyanya lagi.
Wanita itu menunduk, sedetik kemudian ia pun mengangguk.
“Peluk dong!” Laka melebarkan kedua tangannya, bersiap menyambut pelukan hangat si istri. Tapi wanita itu tak menghiraukan. Ia malah kembali mengupas bawang.“Aku memang suka onion ring buatanmu. Tapi, aku lebih suka kamu nggak main-main sama benda itu lagi,” katanya kesal. “Akhir-akhir ini kamu jadi aneh.”
Si istri menoleh. “Aneh kenapa, Mas?” tanyanya polos. “Menurutku, malah kamu yang aneh. Kenapa pulang-pulang langsung minta peluk? Biasanya minta kopi karena pusing mikirin pekerjaan. ”
Laka ikut duduk di pojokan. “Hari ini nggak sama kayak kemarin. Aku cuma kangen saja. Rasanya lama banget nggak peluk kamu. Sudah berapa lama, ya, aku nggak peluk kamu?”
Si istri bergeming. Mengupas bawang masih jauh lebih menarik ketimbang pertanyaan bodoh itu.
“Semenjak pekerjaan kamu bisa membantu pundi-pundi keuangan kita yang sempat amblas akibat pandemi. Dan semenjak kamu sadar, kopi jauh lebih penting ketimbang sebuah pelukan.”
Laka bersusah payah menelan ludahnya. “Berhenti dong kupas bawangnya!” rayunya memelas. Si istri masih saja menggerakkan pisaunya. “Kamu marah sama aku?”
Lagi-lagi si istri bergeming.
“Oke, aku yang salah. Aku minta maaf!”
Si istri menoleh. Matanya berair, hidungnya memerah. “Kamu nggak salah. Nggak perlu minta maaf, Mas.” Suara wanita itu jadi parau. Entah karena aroma bawang, atau memang ia menangis sungguhan.
“Kamu kok malah nangis, sih? Kan, aku sudah minta maaf?” Laka mengamati lekat istrinya.
“Ini gara-gara bawang, Mas. Aku mana pernah, sih, nangis?”
Dulu, istrinya itu kerap diejek suka halu dan menakut-nakuti temannya, tapi setidaknya Laka jadi orang yang percaya dan sudi mendengar cerita mistis itu. Tiga tahun usia pernikahan dan lima tahun pernah sebegitu dekat, tak sekalipun Laka pernah melihatnya menitikkan air mata.
Tiba-tiba Laka mendekat. Ia hendak memeluk istrinya. Wanita itu terperanjat, Laka pun kaget.
“Kenapa aku nggak bisa peluk kamu?” tanyanya bingung. Ia berusaha meraih tubuh istrinya berulang kali. “Aku kenapa?” tanyanya frustasi, saat tangannya tak mampu meraih dan memegang apa yang ada di hadapannya.
“Mas, seminggu yang lalu, sepulang dari kantor kamu mengalami kecelakaan. Hari itu nggak seperti biasanya, kamu pilih bawa motor. Padahal, biasanya kamu bakal pilih naik ojek atau pakai sopir mau setelat apa pun ke kantor. Semenjak itu, aku nggak bisa lagi peluk kamu, Mas.”
Tangisan memecah. Air mata itu jatuh, wanita itu tidak bisa lagi sembunyi di balik bawang yang dikupasnya.
Laka bergeming. Ia baru sadar masih memakai kemeja yang sama dengan tujuh hari lalu—kotor dan penuh darah.