Ada seseorang yang pantas untuk ku benci sebegitu banyaknya.
Dia seorang pecundang, pengecut, dan tidak punya nyali apa-apa. Seseorang mungkin bisa membodohinya kapan saja.
Mengingatnya saja membuatku tertawa. Dia akan gemetar hebat hanya karena mendapatkan perhatian. Dia tidak akan marah bahkan jika seseorang menginjak kepalanya.
"Harusnya kamu memarahinya, dia menginjakmu dengan sengaja." Kataku geram.
"Dia anak sebatang kara yang berjuang juga untuk hidupnya, bagaimana mungkin aku marah. Aku masih bisa memaafkannya, aku akan lebih hati-hati kedepannya agar tidak terinjak lagi." Jawabnya tenang.
Aku tahu ada tangis yang tertahan di pelupuk matanya, tapi kenapa dia sebegitu hebatnya menahan air mata itu hingga tidak tumpah ruah di pipi halusnya?
"DIA YANG SALAH! Kenapa kamu yang harus berhati-hati?!" Amarahku meledak seketika.
"Aku tidak punya hak."
"Apa maksudmu?"
"Aku seorang pendosa."
Aku menatapnya hati-hati. "Kita semua pendosa."
"Aku sering berbohong, kadang iri dan berpura-pura, bahkan aku pernah menyumpah-serapahi atau mengutuk orang lain. Sampai sekarang ada banyak janji yang belum kutepati. Aku ini benar-benar bajingan."
"Kamu?" Aku terhenyak mendengar semua pengakuannya.
"Aku bahkan tak tahu harus berada dimana."
"Bagaimana bisa kamu tidak menghargai dirimu sendiri?"
"Aku harus bagaimana?" Tanyanya dengan mata bergetar. "Semua tempat yang kutuju buntu. Aku tahu kalian semua juga punya masalah hidup sendiri, bagaimana mungkin aku menambahinya."
"Kenapa kamu bicara begitu?" Aku benar-benar tidak habis pikir.
"Aku sering berdoa agar menghilang, tapi dilain sisi aku tidak bisa menghilang begitu saja. Aku anak pertama, ada ibu yang menungguku pulang ke rumah. Tapi aku ini tidak bisa apa-apa."
"Bertahanlah."
"Aku sudah melakukannya."
"Jangan menghilang."
"Aku berusaha."
"Minta tolonglah, akan ada yang membantumu."
"Tidak bisa, aku sudah berhenti melakukannya. Mereka membuatku kecewa kesekian kalinya. Jangan membuatku berharap."
"Teruslah berharap, kamu sudah jatuh berkali-kali, berharap tidak membuatmu rugi."
"Tidak, berharap juga mematahkan hatiku berkali-kali."
Aku memeluknya canggung. Aku belum pernah memeluk seseorang lebih dulu. Hanya ini yang bisa kulakukan.
Kuusap pelan punggungnya yang kini bergetar. "Setidaknya harapan memberimu sedikit keinginan. Kumohon."
"Kamu kini memberiku harapan. Ini menyakitkan."
"Tidak apa-apa, aku akan menemanimu."
Tangisnya pecah, begitu pula rasa benciku padanya. Seharusnya aku memeluknya lebih cepat. Dia hanya jiwa kecil yang menunggu seseorang meraihnya.
"Maafkan aku karena terlambat memahamimu."