Flash Fiction
Disukai
0
Dilihat
2,970
Untung Saja, Tuhan Mahakuasa Membikin Lupa Marung Tua
Drama
Flash Fiction ini masih diperiksa oleh kurator

"Harimau!" pekik seorang bocah dari balik pepohonan, sambil terbirit-birit dengan celana basah, tampang meringis membikin geli.

Sebelumnya bocah itu lagi asyik kencing di bawah pohon melinjo, tak jauh dari tempat ia datang ke situ, berdiri santai mengguyur akar-akar pohon itu sambil memejamkan matanya, ketika sekonyong-konyong dari suatu semak-semak berumput di kejauhan ada didengarnya suatu suara. Bocah itu seketika membuka mata, lalu mendapati sesuatu bergerak perlahan di sana. Dari gerakannya yang lamat-lamat, sesuatu yang dimaksud tampak mengarah kepadanya. Mula-mula bocah itu berusaha tetap anteng, lantaran belum rampung perkaranya mengguyur akar besar pohon melinjo dengan air seninya yang pesing. Apa boleh buat, bertahanlah si bocah.

Ia berusaha meyakinkan dirinya sendiri, bahwa yang bergerak di balik semak-semak itu pastilah cuma biawak, tiada lain kecuali biawak, dan tak perlu merasa kecut tak kira-kira sebab biawak itu mana mungkin setinggi anjingnya Marung Tua. Bocah itu lega juga oleh gagasan tersebut. Ia kembali memalingkan pandangan. Tiada yang perlu ditakutkan dari seekor biawak, pikir bocah bertelanjang dada itu sambil sempat-sempatnya senyam-senyum, kecuali biawak itu sebesar kerbau dan bakal dengan enteng menelan hidup-hidup bocah macam dirinya.

Bocah itu sejenak cekikian sebelum sekonyong-konyong dongkol kepada dirinya sendiri, lantaran tak ternyana: pikiran ceroboh itu membikin bergidik. Tanpa sadar pikirannya telah menakut-nakuti dirinya sendiri. Ia pun akhirnya terpaksa kembali melirik ke semak-semak yang mengirim kengerian itu. Sesuatu yang bergerak makin dekat menghampirinya, membikin perasaannya kian tak karuan. Muka bocah itu tegang pucat, sedang air seninya belum juga berhenti mengucur deras.

Pada waktu yang demikianlah ia akhirnya dibikin hampir semaput, melompat terkaget-kaget, ketakutan setengah mati lalu memekik meski tercekat, ketika dari ujung semak-semak lebat penuh rumput dan ilalang setinggi pinggang orang dewasa, yang tersibak, muncul seekor makhluk berkulit belang.

Bocah itu dengan cepat tahu itu sama sekali bukanlah biawak. Ia dan harimau itu sama-sama terkejut, meski harimau tersebut tak seterkejut si bocah, lebih-lebih manusia kecil itu tak sedikit pun bergelagat mengancamnya.

Membiarkan celananya basah oleh kencingnya yang belum tuntas, terbayang-bayang wajah hewan buas, yang dari jarak cukup jauh menatap seram ke arahnya macam hendak melahap, bocah laki-laki itu berlari terguncang-guncang di atas tanah yang tak rata. Ia lalu berakhir tersungkur di kaki sekumpulan bocah: kawan-kawan bermainnya.

Ia dan mereka tengah bermain pedang-pedangan sebelum ia menyelinap ke balik pepohonan, dan tak disangka-sangka bakal bersirobok dengan seekor harimau dewasa. Sebagai bocah, tentu ia teramat wajar andai kencing di mana saja seenak hati, tetapi kesopansantunan yang diajarkan ibunya telah mengurungkannya berbuat demikian. Terlebih oleh kehadiran beberapa bocah perempuan di antara bocah-bocah lainnya.

Bocah-bocah lain mencemooh dan mentertawakannya habis-habisan, dan orang-orang di lembah itu ada mendengar keributan tersebut. Dari kejauhan, tampak seorang perempuan menceraikan diri dari orang-orang dewasa lain. Ia menghampiri si bocah yang tengah tersedu-sedu oleh sebab yang belum diketahuinya. Ia tak begitu jelas mendengar suara anak laki-lakinya barusan.

"Kenapa menangis, Tirta? Semoga bukan disengat kalajengking," kata perempuan itu.

"Ada ha...."

"Hantu? Tirta, tak mungkin kau melihat hantu, mereka tak keluyuran di siang bolong, Nak."

"Ha-hari-mau, Bu."

"Benarkah?" kejar ibunya, dibikin sedikit cemas sekalian terheran-heran.

"Bibi, mungkin Tirta melihat kucing hutan dan mengira itu harimau," seru seorang bocah laki-laki berambut ikal sebelum tertawa terpingkal-pingkal. Diikuti bocah lainnya.

Bocah-bocah lain kembali melakukan kesenangannya, sedang Tirta masih terisak-isak dalam peluk menenangkan sang ibu yang bersimpuh. Tirta cemas di tempat lain atau di mana pun ia akan berjumpa lagi dengan binatang berkulit belang itu. Bahkan bocah itu cemas harimau dimaksud bakal memasuki mimpinya di malam hari, atau bagaimana jika mengikutinya ke ladang ini?

"Sudahlah. Apa pun yang kaulihat, sebaiknya lupakan," kata ibunya sambil membelai rambut dan wajah Tirta, "sebaiknya kau beristirahat saja."

Tirta menolak untuk beristirahat di pondok panggung. Ia ingin kembali bermain.

Baru saja ibunya Tirta kembali ke tempatnya semula, melakukan pekerjaan di petak ladang, sekonyong-konyong bocah-bocah yang ditinggalkannya berlarian, saling menyalip menjerit-jerit. Agak jauh di belakang bocah-bocah, sekitar duapuluh tombak, ia ada melihat seekor harimau yang tak begitu jelas dari mana kemunculannya dan yang membuktikan bahwa anaknya tak sekadar membual.

Ibunya Tirta berteriak lantang, menyebut-nyebut nama Tuhan, mengingatkan orang-orang, sambil gelagapan.

Harimau itu cuma melangkah anggun, besar memukau, tetapi anjing sialan milik Marung tua menjadi ribut sendiri, keras menyalak, menimbulkan ketegangan. Ladang lantas riuh oleh jerit kepanikan, ketika seorang bocah laki-laki tertinggal jauh dari kawan-kawannya akibat jatuh menginjak lubang tanah lembah, terkilir kakinya. Sedang seekor harimau di belakangnya terus melangkah, di tengah salak ribut seekor anjing yang mengusik. Marung Tua resah dan bimbang, ia dongkol lantaran lupa membawa bedil angin miliknya. Si bocah yang terkilir mengesot sejenak, dan harimau itu telah dekat ketika ia mulai berlari terpincang-pincang.

Orang-orang di ladang berhamburan, mengejar takut-takut, coba menyongsong anak-anak mereka.

Di lembah itu mereka tengah menanam benih-benih di beberapa petak ladang. Mereka menanam benih padi dan jagung. Ladang itu milik Marung Tua.

Sebagian dari mereka memegang kayu runcing yang ditumbuk-tumbukkan ke permukaan tanah, membuat liang taburan, dan sebagian lainnya berperan menggenggam benih yang ditabur, berjalan terbungkuk-bungkuk.

Begitulah yang tengah mereka lakukan, di siang yang terasa membakar lembah di kaki gunung. Maka bukan saja benih yang tertanam, melainkan juga sesekali butir-butir keringat yang luruh bercucuran.

Dengan caping di kepala yang menaungi mereka dari terik matahari, orang-orang itu bakal beramai-ramai menumbuk tanah dan menabur benih, sambil mengeratkan rasa persaudaraan di antara mereka.

Sampai hari beranjak petang, mereka menyudahinya. Lalu kebersamaan yang melelahkan sekaligus menggembirakan bakal diakhiri dengan menyantap makanan.

Saat-saat menyantap makanan inilah yang paling disenangi para bocah. Selain bakal menyaksikan beragam burung, memancing di sungai, berburu belalang, makan bersama di pondok panggung pada sebuah lembah, seraya merasakan kesejukan embusan anginnya inilah yang membikin para bocah riang turut datang ke ladang.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Drama
Rekomendasi