“Kenapa buku puasa kamu banyak kosongnya? Aku menang, nih!” Azmi menunjuk-nunjuk halaman buku tipis itu, membalik halamannya, dan menunjuk-nunjuk lagi.
Setelah menyerahkan buku agenda Ramadhan yang ditugaskan sekolah selama libur puasa, ia kembali ke kursinya. Dari tadi ia diam saja, toh ia sudah menerka-nerka berminggu-minggu yang lalu apa yang bakal terjadi hari ini. Namun, ia tak tahan juga untuk tak menitikkan dua-tiga tetes dari matanya, membasahi pipi. Ia buru-buru menyapunya. Syukurlah, tak ada yang sempat melihat.
“Perasaan dulu kamu paling penuh bukunya, Dhon! Kenapa sekarang banyak bolong begitu!?” tanya teman sebangkunya, Aleida. Ia masih harus terus berusaha tenang. Toh, apa yang terjadi hari ini juga akan dilupakan paling lambat lusa. Ia bisa mengalahkan lagi teman-temannya yang sombong itu di mata pelajaran IPS dan seni budaya. Meski ia tak suka menunjuk-nunjuk nilainya seperti yang dilakukan Azmi tadi.
Dhoni sedih, tapi utamanya bukan karena buku puasanya tak begitu keren dipandang.
Jika kamu bisa melihatnya secara langsung, di buku agenda Ramadhan miliknya, pada baris “Sholat Tarawih” itulah kotak-kotak kecil itu hampir semuanya bertanda garis tengah alias tidak mengerjakan. Hanya pada dua kotak terakhir paling kanan yang bertanda centang.
***
“Ustaz Rasyid, boleh minta parfumnya?” ia beranikan berkata lancang seperti itu, “kata Ustaz, kalau sholat pakai wewangian itu pahalanya berlipat, ‘kan?”
Yang dilancangi justru tersenyum sambil menyerahkan parfum miliknya, “Ada juga yang ingat pembahasan kitab sebelum Ramadhan, ya? Alhamdulillah.”
Dhoni mengambil dengan sopan parfum dari ustaz tetap di masjid tua itu. Ia semprot dua kali saja aroma “malaikat subuh” ke baju bagian badannya. Sambil sedikit berbungkuk, ia meletakkan botol kecil itu kembali ke tangan Ustaz Rasyid.
Kini ia merasa lebih siap lagi untuk melaksanakan tarawih pertama kali di bulan puasa, di tanggal 28 Ramadhan. Ia tersenyum-senyum sejak dari rumah tadi, akhirnya…
Saat sholat tarawih di rakaat kelima belas, air matanya merembes, mengingat ia hanya akan melaksanakan tarawih satu atau dua kali lagi.
Selepas tarawih, ia membawa agenda Ramadhan-nya ke peimaman, mengantri dengan anak-anak SD dan SMP lainnya, meminta tanda tangan ke Ustaz Rasyid yang memimpin sholat Isya dan Tarawih tadi.
Ia pandang-pandang kolom yang memenuhi halaman-halaman di buku tipis itu. Selain baris “Sholat Tarawih” yang akhirnya terisi, halaman agenda Ramadhan itu juga menunjukkan satu-dua genangan kecil karena air matanya kembali menetes baru saja.
“Kapan lebaran, Ustaz?” tanyanya ketika Ustaz Rasyid hendak menyalakan motornya menuju pulang.
“Belum tau, menunggu pengumuman pemerintah besok.”
“Terima kasih.”
Dalam batin anak kelas 3 SMP itu, ia ingin puasa genap tiga puluh hari. Berbeda dengan teman-teman seusianya yang lain, yang ingin puasa segera usai agar tak kerepotan lagi menahan perut yang meronta-ronta menjelang waktu Zuhur. Dan agar segera bisa berlebaran. Dhoni ingin Tarawih dua kali lagi.
Saat pemerintah mengumumkan puasa akhirnya berakhir di tanggal 29, dan besok hari raya, ia tersedu-sedu.
***
Sebab musababnya adalah dia mesti bekerja menjaga gerobak pentol Om Jaja dari ba’da Maghrib sampai sampai jam 12 malam. Pulang dari berjualan bakso yang ditusuk-tusuk itu, ia selalu letih dan terlelap sampai waktu Sahur.
Om Jaja tak pernah memaksa ia menerima pekerjaan itu, justru Dhonilah yang merengek memintanya.
“Bukankah kamu tak pernah kelaparan, Dhon? Kukira umamu tak kekurangan kalau hanya perkara makan dan biaya sekolah.”
“Ini bukan soal itu, Om. Biarkan aku bekerja.”
Akhirnya Dhoni bekerjalah disitu. Menguahi pentol di dalam panci, memasukkan pentol ke dalam plastik-plastik kecil, dan membungkuskan saus adalah pekerjaan yang dilakukannya setiap malam di bulan Ramadhan. Ia bilang kepada umanya pergi Tarawih dan tadarus.
Setiap kali suara bilal menyerukan assholatu tarawihi rahimakumullah dari langgar terdekat, ia menguatkan hatinya.
Di tanggal 26 Ramadhan, Om Jaja pulang berlebaran ke kampungnya. Usailah pekerjaan itu dan ia menerima gaji yang dilebihkan sedikit oleh si pedagang pentol.
***
Di sekolah, pada waktu yang kurang lebih bersamaan saat Dhoni menyerahkan agenda Ramadhannya ke wali kelas, adiknya Dhoni yang bernama Rama melihat teman-teman kelas 2 SD-nya memamerkan mainan mereka masing-masing. Ada yang menunjuk-nunjukkan tamiya, koleksi hot wheels, lego, bahkan ada yang repot-repot membawa bola sepak karet.
“Kamu bawa apa, Ram? Jangan-jangan tidak bawa apa-apa lagi seperti lebaran tahun lalu!”
Dengan malu-malu Rama membuka tasnya, mengambil kotak kardus yang bertuliskan: Monopoli & Ular Tangga!
Hari itu, Rama tidak menitikkan air matanya seperti tahun lalu.
Ia tersenyum. Terus tersenyum sepanjang hari itu di sekolah. Sesekali ia menggaruk badannya yang gatal karena dipakaikan seragam baru yang belum sempat dicuci.