Mentari kini mulai meredup, langit perlahan semakin gelap dan gelap. Kegelapan itu bukan berasal dari pergantian hari, tapi awan mendung yang mulai menginvasi langit diatasku. Dan tak perlu menunggu hingga lumutan, setitik air turun satu persatu dari atas langit itu.
Dingin, rasa itu menjalan hingga ke seluruh tubuhku. Aku mengeratkan selimut yang membalut tubuhku.
"Kenapa hujan kali ini sangat dingin ?" monologku saat merasa tulangku semakin ngilu.
Sebuah kopi hitam hangat di letakkan di depan mataku. Aku mengerjap berkali-kali.
"Minumlah kopi panas ini, biar tak kedinginan," ujar seorang pria yang menyodorkan kopi di hadapanku itu.
Aku menerima cangkir itu dengan berat hati. Pasalnya aku sedang tak ingin menyeruput kopi hitam. Tapi lelaki berusia 50 tahun itu menatapku dengan ekspresi penuh harap. Seolah kopi buatannya menunggu kupuji.
Setelah sedikit menyeruput kopi itu, aku tersenyum. Dan senyuman kecilku itu mampu membuat senyuman yang lebar muncul dari wajah lelaki paruh bayah itu.
"Bagaimana ? Bukankah ini seperti dalam drama korea yang sering kamu tonton itu ?" ujarnya sambil tersenyum senang.
"Ayah, siapa yang ingin hidup seperti di drama korea," aku merotasikan bola mataku dengan malas.
"Kamu ini harusnya bersyukut, punya ayah yang sebaik ini. Diluar sana mana ada ayah yang membuatkan anaknya kopi tiba-tiba di saat hujan seperti ini."
Lagi, ayahku itu selalu membanggakan betapa berbedanya dirinya dengan orang lain. Meskipun memang sebaik itu, tapi terkadang aku sedang tidak dalam suasana yang bagus untuk menerimanya, seperti kopi tadi. Tapi aku seperti harus terpaksa memberinya penghargaan, agar wajahnya tak menunjukkan kekecewaan padaku.
Jujur aku terkadang membenci perlakuan tiba-tibanya yang tak kuinginkan, tapi terkadang juga aku sangat merindukan perlakuan seperti itu. Aku memandang wajah lelaki yang memiliki hidung dan mata yang mirip dengan punyaku.
Di bawah matanya, terlibat kerutan-kerutan pada kulitnya yang kini tak elastis lagi. Rambutnya yang sudah semakin rontok dan memutih. Tubuhnya yang tak lagi sekuat dulu ketika menggendongku. Entah kenapa aku tiba-tiba terpikirkan bahwa di usia ayahku itu mungkin tak akan lama lagi.
Apakah aku sudah membanggakannya, apakah aku pernah menyakiti hatinya, apakah aku sudah memberikan yang terbaik padanya, seluruh pertanyaan itu bermain-main dalam orakku. Bagaimana jika ia pergi dari sisiku, untuk selamanya. Aku tak akan siap.
"Nak, Apa kau tahu, ayah selalu berterima kasih pada Tuhan. Karena-Nya kau bisa tumbuh sebesar ini."
"Ayah," aku merengek dengan nada manjaku.
Ia langsung mengusak rambutku dengan gemas.
"Lihatlah, kau sudah umur berapa, kau sangat manja pada ayah," senyum teduhnya itu membuatku semakin ingin menangis.
Hujan deras di luar rumah itu seperti lagu yang menghanyutkan kami dalam suasana dingin ini. Ayah tiba-tiba menyenderkan kepalanya di bahuku. Tentu saja aku ikut menyandarkan kepalaku padanya.
Tanpa sadar tetesan mataku tak mau berhenti turun. Beruntungnya, hujan deras itu dapat meredam sedikit isakanku. Suasana seperti ini benar-benar melemahkan hatiku. Aku pun menghapus air mataku dengan tanganku. Ketika kerongkonganku terasa kering, aku hendak mengambil kopiku. Jadi kubangunkan ayah di bahuku.
"Ayah, sebentar aku mau minum."
Tak ada sahutan dari ayahku. Kepalanya terlihat sangat nyaman di bahuku. Jadi kuputuskan untuk memanggilnya lagi.
"Ayah, bisa bangun sebentar ? Aku mau minum."
Lagi-lagi tak ada jawaban dari ayah. Dengan perlahan aku mengangkat kepalanya dan menggeser tubuhku. Kulihat matanya terpejam.
"Ayah."
"Ayah."
"Yah, kenapa tidur disini ?"
"Ayah."
"Ayah."
Tangisku kini semakin pecah saat menyadari tak ada udara yang bertukar dalam tubuhnya. Bahkan jantungnya kini juga tak bekerja. Aku melepaskan selimutku dan menyelimutkan padanya. Kudekap tubuh dingin itu dengan menangis kencang.