Dia sudah melewatiku tiga kali. Perempuan muda berkerudung dengan pakaian olahraga yang longgar. Berlari mengitari taman dan sesekali melihat gelang khusus yang sepertinya memberi tahu dia jumlah denyut jantungnya. Entah apa nama gelang itu, aku tidak tahu, aku tidak pernah perlu, jadi tidak terlalu peduli. Kalau aku lari, aku hanya tinggal cari tahu apa masih bisa bernapas atau tidak.
Sekarang dia melewatiku keempat kalinya. Aku yang tengah duduk di bangku taman dengan barang bawaan yang tidak bisa aku bilang sedikit, mengawasinya sembunyi-sembunyi. Tentu saja sembunyi-sembunyi! Aku tidak ingin ketahuan kalau aku memperhatikannya, kan? Aku selingi momen memperhatikan itu dengan memainkan ponsel.
Senja masih menyisakan panas hari, dan suasana kota di ujung taman masih memperlihatkan hiruk pikuk umat manusia yang terburu-buru menuju tempat bersemayam masing-masing. Mungkin tidak dengan di taman ini. Ada tenang, ada damai, ada indah. Begitu pula dengan perempuan yang sedang lari itu.
Kerudung merah mudanya membingkai wajah oval berkulit bersih dan cerah. Bulir keringat seperti berkilau dan menjadi aksesoris yang hinggap di alis tipis dan bergulir melandai di hidung yang tidak terlalu mancung. Sorot mata di bawah dua alis itu pun tampak tenang, namun fokus. Tarikan napas dan hembusannya tampak konstan, teriring dada yang kembang kempis di balik stelan training biru dan putih. Sepatu lari warna putih yang dikenakannya, juga konstan menapaki jalur lari taman—tidak cepat, juga tidak lambat. Ada anggun dari tiap geraknya.
Aku menyukainya?
Tentu saja! Normal, bukan? Sebagai lelaki aku suka melihat perempuan yang sehat, muda dan cantik. Tapi jika berpikir untuk memilikinya, itu hal yang total lain lagi. Percayalah, menghargai konsep keindahan tidak selaras dengan hasrat memiliki dan mengeksploitasinya. Seseorang yang kehausan di padang pasir tidak akan menghargai indahnya oasis. Setuju, tidak? Teori yang menarik, bukan? Justru konsep keindahan itu akan hancur ketika napsu memiliki keindahan itu diperturutkan. Meski memang harus aku akui, hasrat itu ada. Hasrat mendekatinya, berkenalan dengannya, mengajaknya ngopi, lalu makan malam …. Tapi jika aku perturutkan, tidakkah aku mengambil resiko mereduksi keindahan dia dalam setiap tahapan mendekatinya? Bisa saja karakternya busuk, bukan? Ya, mungkin itu salah satu variabel akan sejatinya keindahan. Indah itu rapuh.
Hmmm, mungkin karena indah itu rapuh maka muncul hasrat untuk memilikinya? Itu juga patut direnungkan, bukan? Atau minimal hasrat untuk mereplikanya, seperti aku yang sembunyi-sembunyi mereplika citra dia yang sedang lari lewat kamera ponselku. Sengaja aku ambil fokus pada taman, meski sosok dia tertangkap juga di sudut imaji yang tersimpan di memori. Hanya saja, setelah foto itu tercipta, aku pun mulai mempertanyakan, kenapa aku melakukannya? Maksudku, tujuan dari mereplika keindahan itu apa sebenarnya? Apa aku akan sering menatap foto itu? Atau malah setelah lepas aku pergi dari taman ini aku malah lupa dan mengabaikan foto itu, tertimbun foto-foto lainnya? Potensi itu jelas ada, dan malah menekankan sejatinya indah itu adalah rapuh.
Hmmm, jika dilanjutkan, mungkin akan terbagi menjadi dua, ya? Rapuhnya keindahan itu? Dari rapuhnya objek keindahan itu sendiri, seperti cantiknya akan memudar seiring usia atau turunnya kondisi kesehatannya. Juga dari subjek pengamatnya yang sama-sama rapuh karena bisa dengan mudah beralih pada objek keindahan lainnya.
Aku berpaling sejenak, menatap ujung taman. Di sana mentari sedang bergulir menuju terbenam. Ada indah dari apa yang ditawarkan pemandangan sunset itu. Kalian juga setuju, ada indah yang ditawarkan sunset, bukan? Lepas dari kenyataan kalau benda yang mengambang di atas cakrawala nun jauh di sana itu adalah bola gas raksasa yang terbakar yang juga menawarkan kehancuran.
Aku menarik napas panjang saat perempuan itu lewat lagi. Entah yang keberapa kalinya. Aku tidak lagi menghitung, tapi aku masih memperhatikannya. Peluhnya tampak makin deras, berkilauan saat tertimpa cahaya senja, sorot matanya pun tampak puas.
Indah ….
“Indah! Tunggu!”
Aku terperangah.
Kulihat ada seorang pemuda berstelan celana pendek hitam dan kaus abu-abu tanpa lengan mendekati perempuan itu. Yang kemudian pemuda itu mengimbangi ayunan kaki perempuan itu dan berlari di sampingnya. Mungkin pacarnya, atau bahkan suaminya.
Setelah mereka menjauh, akupun tertawa. Tidak kencang, mungkin hanya senyum diiringi sekali dengkus napas.
Hahaha, ternyata namanya Indah!
“Kenapa senyam-senyum gitu?”
Mendadak aku dengar suara perempuan di sampingku. Aku lihat istriku berjalan mendekat sambil membawa barang belanjaannya di tangan kanan.
“Bukan apa-apa,” jawabku, tapi ketika aku lihat matanya menangkap citra muda-mudi yang lari melewatiku tadi, sepertinya dia bisa menduga-duga.
“Jadi teringat kita dulu, ya?” ujar istriku.
“Hmmm, enggak tuh,” jawabku datar.
“Apaan sih!” respon istriku sambil mencubit pipiku.
“Au! Sudah beres belanjanya?”
“Yup, sudah.”
Aku pun berdiri, membawakan barang belanjaan istriku dan melangkah pulang. Tidak hanya mesti membawa belanjaannya, lengan istriku pun mesti menggelayut ke lenganku.
Indah itu rapuh, bukan? Ya, tertawalah sesukamu!
Ada 'sesuatu' dengan Elok🤭