Dengan susah-payah akhirnya perempuan itu sampai pula di balik atap sebuah gedung menusuk langit, gedung berlantai 61 yang dibangun nyaris di puncak sebuah bukit.
Seperti berkilat-kilat sesaat cahaya kegembiraannya karena keberhasilan itu. Ia pun merayakannya dengan merentangkan kadua tangannya. Seolah hendak menadah bintang jatuh sebanyak-banyaknya.
Gedung berlantai 61 itu dibangun nyaris di puncak sebuah bukit. Tetapi, sesaat kemudian ia tersimpuh, seperti kehabisan tenaga. Seperti sebegitu sedihnya.
Lalu diangkatnya dagunya, pelan, dan ditatapnya lagi langit yang menghitam. Bintang-bintang berkedip, dan bulan sabit tampak mirip bibir antara menangis dengan tersenyum.
Lalu ia melepas centhing-nya. Seperti hendak memberi ruang yang lebih leluasa bagi perut dan terutama bagi janin yang sedang tumbuh di dalamnya. Dan laptop itu segera dibukanya. Segera dihidupkannya.
Sebentar ia lari-lari kecil mengitarinya, seperti sedang melakukan sebuah ritual atau hanya sekadar biar tampak teatrikal. Andai angin memperkencang diri dan mengempaskan perempuan itu, pastilah jadi sebuah drama.
Ia kembali duduk. Hampir bersimpuh. Dan mulai menulis.
’’Saya berharap di langit benar-benar ada dewa yang yang tak keberatan untuk dibakar asmaranya oleh perempuan manusia seperti saya. Saya pastilah akan memberikan semuanya, jika tiba-tiba ada dewa yang datang ke tempat saya: sekarang, di sini. Alangkah indahnya percintaan itu, jika benar bisa terjadi. Saya tak akan peduli, apakah ia dewa yang pernah membangun affair bersama Kunthi atau Anjani. Maka, kelak aku tak perlu berurusan dengan interogasi berpanjang-panjang, sebab dewa adalah dewa. Kebangsaannya ya dewa. Hukumnya ya hukum dewa, bukan hukum manusia. Pastilah akan sangat berbedaa dengan, misalnya, jika saya mengaku telah bercinta dengan Pakistan, China, Jawa, Dayak, Bugis, Batak, Madura….’’
Perempuan itu menarik tangannya. Meraba perutnya. Menghela napas. Dan kemudian merebahkan dirinya. Ia telentang kini, pandangnya tajam menatap langit yang makin menghitam. Malam makin larut. Tak juga ada dewa yang datang membawa kobaran api asmaranya.
Perempuan itu jadi gelisah. Ia seperti sedang diremas-remas getir, perih, ngilu, sakit. Seberat-berat hukuman yang disandang Dewi Anjani berpuluh tahun menjadi tugu ia akhirnya kembali pulih menjadi seorang wayang.
Kunthi yang mengaku telah bermain cinta dengan Dewa Surya tetaplah seorang permaisuri yang dihormati, walau ia harus rela membuang anak pertamanya yang di kemudian hari menjadi Raja Awangga, sebuah kerajaan kecil di bawah naungan Astinapura.
Tetapi, apakah yang sedang dan akan ditanggung perempuan ini? Ia tak bisa lagi bercerita tentang sebuah pisau yang terjatuh ke pangkuan dan mendatangkan sejenis kutukan: hamil tanpa didahului proses persenggamaan.
Bagaimana pula halnya dengan kisah tentang perempuan yang kehausan di tengah hutan dan meminum beberapa tetes air yang menempel di pucuk daun? Daun apa namanya ya? Daun dewa? Haha! Atau daun asamara?
Perempuan itu membuka halaman baru tanpa menutup atau menghapus tulisannya di halaman sebelumnya. Dan inilah yang dituliskannya:
’’Aku tak mau tahu, apakah mesti menyesali atau malahan bersyukur telah meminum air itu, air yang telah membawaku terbang di langit penuh cahaya. Bukan di siang, dan rasanya bukan pula di malam. Saya melayang-layang melintasi gedung-gedung, bukit, pegunungan, dan laut. Dan sampailah aku di tempat itu, entah di mana, ketika luka menganga menjalarkan nikmat tiada tara! Aku tak rela jika disebut itu hanya mimpi. Sebab, rasanya tidak ada lagi yang lebih nyata lagi. Itulah kenyataan yang lebih nyata daripada yang kuhadapi kini.’’
Perempuan itu lagi-lagi berhenti menulis, mengangkat dagunya, dan tersenyum, untuk dirinya sendiri, puas. Mungkin ia telah mendapatkan kepuasan seperti yang dirasakan seorang penyair setelah menuliskan kata terakhir dalam puisi terbarunya. Ouw! Mungkin juga lebih dari itu.
Lihatlah, ia melompat. Lalu berlari-lari kecil mengitari laptopnya. Oh, tidak! Ia sedang menari. Seperti itulah barangkali seorang bidadari menari. Suara malam mengiringi. O, betapa indah rambutnya yang tergerai, yang melambai. Betapa indah tariannya.
Kini ia tak lagi menginjakkan kaki di landasan beton bagian terdekat gedung menusuk langit itu dengan bulan, dengan bintang. Ia melayang-layang di udara dengan indahnya!
Maka, jika pada suatu malam, ketika bulan sabit tampak seperti seiris bibir yang berada di antara tangis dengan senyuman di mana pun: Madiun, Ponorogo, Blitar, Tulungagung, Sha Tin, Lam Tin, Tin Hau, Causeway Bay, Mong Kok, Yuen Long… baik-baiklah memandang langit: siapa tahu Anda beruntung dapat melihat perempuan itu menari: melayang-layang di udara begitu indahnya. [*]