Dan ketika senja pada usia dua anak mereka sama-sama baru menginjak lima tahun, dua keluarga bertetangga itu saling mengenalkan anak jagoannya. Rumah bercat ungu tua itu, baru saja dihuni, sedangkan rumah yang bercat ungu muda sudah lama mendiaminya.
Di kala senja esoknya, dua anak mereka tampak akrab. Senja di bulan berikutnya, anak mereka daftar sekolah, masuk di kelas yang sama dan duduk bersebelahan. Lantas, senja di kala pertemanan mereka hampir setahun, penghuni rumah bercat ungu muda itu, merayakan ulang tahun anaknya.
Senja di tahun berikutnya, anak penghuni cat ungu muda, tengah menggambar sketsa dari foto ulang tahunnya. Kedua orangtuanya yang melihat hal itu, tampak bahagia. Ketika senja demi senja berlalu, anak-anak yang telah melewati tumbuh kembang, sudah jadi remaja.
Pada senja kesekian kalinya, remaja penghuni rumah ungu muda itu, mendadak terusik oleh pertanyaan kawannya, “Kamu pacaran sama dia?” Dengan mengacungkan telunjuk ke arah sosok yang dimaksudnya—lagi mendekati merek.
Yang ditanya cuma geleng-geleng.
“Tapi kalian lengket.” Yang kemudian disusul pertanyaan demi pertanyaan oleh kawan-kawannya juga.
[]
Sebelum senja muncul lagi, cowok berkulit putih berhidung mancung itu, yang baru saja masuk rumah bercat ungu muda, merobek sketsa gambar dirinya dengan kawannya. Gambar sosok mungil yang berambut panjang dan bertubuh kurus itu, terlihat seperti bersedih dari robekan-robekan yang tercecer di lantai.
Senja esoknya yang hanya muncul sebentar, meninggalkan luka bagi remaja berambut panjang bertubuh kurus itu. Sikap kawannya berubah, diajak main menolak, diajak makan bareng pun ogah. Dia bertanya-tanya, apakah dirinya berbuah salah? Pernah, sih, dirinya diminta potong rambut biar penampilannya lebih segar, tapi dia enggan karena baginya, rambut adalah mahkota terindah.
Sikap dingin itu terus berlangsung hingga dua belas bulan senja terlewati. Di sekolah, dia sudah merasa kehilangan satu-satunya kawan, termasuk di rumah. Namun, Adil yang sudah lama duduk di sampingnya—bertukar posisi—agaknya tidak peduli dengan kerenggangan hubungan mereka.
“Ibuku tiap malam pergi.” Adil bicara setelah lima belas menit kawannya berdiam diri, yang hanya memperhatikan cowok yang dianggapnya masih sahabat terbaik.
“Pergi ke mana?”
Adil geleng-geleng. “Mbuh, tapi ya aku khawatir. Kalau ibu besok-besok pergi selama-lamanya karena tak kuat—” Kata-kata Adil terputus saat yang lagi diajak ngobrol mendadak mendekati kawan yang tak sebangku lagi itu. Perkelahian terjadi. Sekelas heboh.
[]
“Berantem kenapa, toh?” tanya ibunya Jadi. “Kasihan Debu, rambutnya jadi rusak begitu dijambak-jambak kamu.”
[]
Senja berikutnya, terdengar kabar kematian dari pengeras suara di masjid. Suaranya tidak terdengar jelas dari kamar berbau penguk, yang mana, ada sosok perempuan yang lagi main ranjang dengan mantan kekasihnya. Namun, suara kabar kematian itu terdengar jelas oleh Adil yang lagi menunggu ibunya pulang. Saking sedihnya dia pun dipeluk ayahnya sampai tertidur. Dan, selang sekian jam, ibunya Adil pulang dengan segudang kecamuk melihat anaknya begitu dekat dengan sang suami.
Sebelum senja datang lagi, Jadi menangis tersedu-sedu di pemakaman Debu. Segudang rasa bersalah berkecamuk di dadanya. Debu memang tidak meninggalkan petunjuk apa pun, terkait alasan dirinya bunuh diri. Akan tetapi, yang dia ingat, perkelahian itu, seolah-olah Debu menuntut alasan dirinya menjauh.
Alasan ‘tidak ingin dikira pacaran dengan laki-laki’ karena sebuah kedekatan persahabatan, selamanya bakal terpendam dalam hatinya dan akan menyemai luka seumur hidup. []
-TAMAT-