Flash Fiction
Disukai
2
Dilihat
4,445
Ruang dan Waktu Membuat Kita Terhenti
Drama

Jadi kau naik kendaraan itu lagi. Dulu, selama lima tahun, saban bulan kau menumpangi kendaraan itu, membawamu menempuh 567,9 km untuk sampai ke tempat tinggalku.

“Aku tidak suka naik itu. Berisik. Gesekan antara besi dengan besi membuat bulu kudukku berdiri sepanjang perjalanan,” katamu ketika aku tanya, mengapa kau tidak suka naik kereta.

“Mengapa juga kau tidak naik pesawat? Pebisnis sepertimu tentu enteng saja membeli tiketnya?”

“Aku malas untuk terburu-buru. Masak di waktu senggangku, aku juga harus berlari mengejar waktu?”

“Tapi kita jadi lebih cepat ketemu. Kau kan tahu, betapa sulitnya untuk menemuimu,” tukasku.

“Katamu itu sudah risiko. Kau bersedia menanggung rindu, menungguku yang susah sekali mendapat me-time,” katamu sambil mendesah menahan belaian tanganku yang berjalan dari ujung bahu ke ujung bawah pinggangmu.

“Sehebat apa dia?” tanyaku, api cemburu menyulut dadaku.

“Dia suami dan ayah yang baik. Cuma itu,” jawabmu sambil membalas belaianku.

“Untuk hal ini?”

“Dia malas bergerak,” katamu. Lalu tawamu meledak.

Itu yang aku suka darimu. Tawamu itu. Padahal kau pelit tertawa. Tersenyum pun susah. “Kau berhasil membuatku tertawa. Itu yang membuatku jatuh cinta,” katamu pada kencan pertama kita. Aku pun melambung. Keberanian dalam diriku pun timbul untuk mengajakmu tidur di rumahku. Dan kau menerimanya begitu saja, tanpa bertanya apa-apa.

Nyaris lima tahun kita melakukannya. Bercinta ketika kau datang ke rumahku di satu sudut kota Yogyakarta. “Tempat ini membuatku lebih bergairah,” katamu. “Wangi tanah, semerbak rumah tua, embusan angin dari kebun di luar sana. Beda banget sama apartemenku yang dingin.”

Bergairah. Mungkin itu yang membuat kita bisa bercinta paling sedikit tiga kali dalam satu malam. Gairah yang membuatku tersiksa. Ingin memilikimu selamanya, tetapi tidak bisa. Kau punya anak dan suami yang harus kau urus di sana.

Aku sering geram mendengar semua cerita tentang suamimu. Laki-laki yang menjadi pujaan hati banyak perempuan. Menikahimu hanya untuk status sosial. Sementara dia mempertahankan cinta bagi seorang perempuan yang sudah bersuami. Perempuan yang selalu tampil sok suci dengan menyalin kalimat-kalimat islami dan junjungan kepada suaminya, dan di saat yang sama mengirim pesan penuh caci maki pada suamimu karena memilih menikah dan punya istri. Dia kesal, karena suamimu tidak bisa lagi datang untuk mengencani, di saat suaminya sedang pergi mengeruk rezeki.

“Tapi akhirnya aku pun menjadi perempuan itu,” katamu di pertemuan kita yang ke tujuh, tiga belas bulan setelah pertama kita bertemu.

“Kamu kan nggak pernah nangis-nangis gilas hati karena aku berkencan dengan perempuan lain,” kataku. Lagi-lagi tawamu meledak mendengar kata-kataku. Lama aku baru tersadar, mungkinkah tawamu menandakan ketidaksetujuanmu? Atau sebagai cara untuk melepaskan segala depresimu?

Aku sering bertanya-tanya, apa yang ada di benakmu sebenarnya. Kau tidak pernah meminta, tidak pernah bertanya, tidak pernah menuntut apa-apa. Selama hubungan kita berjalan, kau hanya mendengar segala cerita yang aku punya. Lalu menganggapinya, sekadar saja.

“Bagaimana kalau kau datang ke kotaku?” tiba-tiba kau bertanya di pertemuan kita yang ketiga puluh empat, menjelang tahun kelima. “Ayolah, sekali-sekali kau turun gunung. Masak selama ini kau datang hanya melalui surat cinta yang kau selipkan di laporan keuangan untuk kebun agrobisnisku yang kau kelola?” Tidak seperti biasanya, kau membujukku.

“Suamimu bagaimana, dia kan ndak pernah pergi dari rumah?”

“Bulan depan dia akan berangkat. Dua bulan akan keliling melakukan perjalanan untuk proyek novelnya. Kau bisa menginap di tempatku yang satunya. Kebetulan sedang tidak ada yang menyewa. Kita bisa menghabiskan waktu bersama selama anakku di sekolah. Berdua saja, bercinta sepuasnya,” katamu dengan penuh perhitungan, seperti biasa.

Kali ini aku yang menurut dan tidak bertanya apa-apa. Aku percaya kau sudah memperhitungkan segalanya.

Dan kali ini, aku yang menumpangi kendaraan yang biasanya kau gunakan untuk menemuiku. Aku tidak sabar sebenarnya. Kendaraan ini setengah terbang melintasi jalan raya, tetapi bagiku jalannya bak gerobak sapi saja.

Aku memejamkan mata, berharap di saat membuka mata kau sudah ada di hadapanku. Goyangan kendaraan dengan lima puluh penumpang di tengah kegelapan malam ini membuaiku. Aku bayangkan kau berada di dalam pelukanku. Menciumi dadaku, sementara tanganku menelusuri lekuk tubuhmu.

Buaian itu tiba-tiba terhenti, bersamaan dengan dentuman yang memekakkan telinga. Banyak orang berteriak, bahkan ada yang menangis. Aku tidak sempat melihat apa-apa. Seketika tubuhku serasa ada yang menarik ke atas. Aku seperti terbang.

Perjalananku menuju pertemuan kita yang ketiga puluh lima, di tahun yang kelima, terhenti sampai di situ. Aku hanya bisa menatapmu dari atas sini. Melihatmu bercengkerama dengan suamimu, atau terburu-buru menyiapkan bekal sekolah anakmu.

Lalu hari ini, aku kembali melihatmu di atas kendaraan itu. Entah hendak ke mana, dan akan menemui siapa.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Drama
Rekomendasi