Backpacker Hostel Armadillo, Labuhan Bajo.
Dini hari saat itu, aku sangat gelisah. Aku mulai berbicara dengan pintu dan mencoret-coret suatu simbol yang tidak jelas di pintu itu menggunakan kuku jempolku. Jika aku menekan dengan keras, coretan simbol itu akan terlihat cukup jelas. Namun, jika aku menekan lebih keras lagi, kuku jempolku bisa patah dan mengeluarkan darah. Aku tak sanggup melanjutkannya lagi. Berbagai emosi berkecamuk di dalam benakku, berusaha mendikte tindakan yang harus kuambil. Akhirnya berujung pada satu pilihan yang sedikit lebih baik: aku bertarung menggunakan sepatu gunungku.
Aku memasuki babak baru dalam pertarungan itu dengan energi dan kesenangan yang nyaris menghilang. Aku menendang pintu itu tiga kali berturut-turut dengan sengaja dan keras, memberi tahu orang lain bahwa aku mulai jengkel setelah menunggu sangat lama untuk 'One Day Trip Sailing Komodo Island'.
Lima belas menit kemudian, aku masih bertarung dengan pintu itu seorang diri. Walaupun sebagai konsekuensinya, kakiku sekarang lecet dan memar.
"Tidak salah lagi, ini adalah hari yang buruk! Aku menyesal datang ke Flores!" Aku menendang tong sampah di halaman kecil hostel itu dengan jurus tendangan memutar. Tong sampah jatuh dan K.O dengan sekali tendang.
Setelah puas meluapkan amarah, aku bangkit dan menatap jalan raya.
Dua turis wanita Asia yang tinggi tiba-tiba melihat tingkah absurd-ku dari trotoar seberang jalan. Untuk ukuran wanita Asia, tinggi badan sekitar 170 cm itu sudah lebih dari kata ideal. Hanya saja, aku merasakan adanya rasa penasaran dari sosok wanita yang memakai topi pantai berwarna krem sambil mengaitkan tas di atas pundaknya. Gayanya angkuh sekali, tapi tidak seangkuh auranya. Wanita itu mengenakan rok sifon pendek bermotif bunga dan mengombinasikannya dengan kemeja vintage lengan pendek berwarna kemerahan. Sinar lampu jalan raya menyinari belakang punggung wanita tersebut, memantulkan bayangan yang panjang ke badan jalan.
"Hello." Aku menyapa mereka sambil memaksakan senyum.
"Hello." Si Wanita Bertopi Pantai Warna Krem itu membalas sapaanku. "A beautiful morning."
"Oiii... ayo berangkat sekarang, Bro!" Teriakan cempreng dari Bos Muda membuat emosiku naik lagi. Aku ingin sekali memaki-makinya atau bahkan menendang kepalanya yang besar itu, karena sudah membuatku menunggu sangat lama. Namun, tidak kulakukan.
"Area you ready, Miss Vietnam?" Bos Muda tiba-tiba bertanya kepada wanita Asia itu sambil menatap matanya dengan penuh rasa kagum.
"Yeah." Si Wanita Bertopi Pantai Warna Krem yang dijuluki Miss Vietnam oleh Bos Muda itu menjawab dengan semangat sambil mengangkat kedua sudut bibirnya, tampak senyuman yang seakan-akan tidak akan pernah dicemari oleh gelapnya kabut. Lalu, tiba-tiba ia menatapku sejenak sebelum balik kanan dan memimpin rombongan kecil ini berjalan menuju dermaga.
Gerakan sederhana Miss Vietnam itu telah memenuhi diriku dengan perasaan keterikatan, seakan-akan ia telah menyuntikkan semangat dan gairah petualangannya ke petualanganku.
Jadi, sepasang wanita Vietnam itu sama sepertiku—sedang menunggu Bos Muda. Itu artinya kami akan menjadi teman perjalanan selama satu hari penuh. Aku bisa merasakan bibirku berkedut membentuk senyuman. Saat itu juga rona masa depan cerah langsung terpancar di wajahku.
Lama-lama aku cengengesan sendiri. Aku pun bingung kenapa bisa seperti ini. Rasanya seperti orang yang sedang ditawan oleh rasa penasaran tingkat tinggi karena ingin tahu siapa Miss Vietnam itu sebenarnya.