Ada yang tidak lazim malam ini: bulan biru muncul di langit ungu. Sebagian orang bersembunyi di rumah-rumah mereka, takut akan terjadi sesuatu. Sementara, yang lainnya takjub dan bermain di bawah cahaya purnama terang benderang bagai pelita di malam hari. Tidak sedikit juga yang memilih untuk mengabaikannya seolah bukan hal istimewa.
Bulan biru tak ambil pusing, ia justru heran melihat bumi yang tampak seolah bersedih menyambut kemunculannya.
“Manusia-manusia ketakutan melihatmu,” ujar Bumi kepadanya.
“Ah, mereka tampak bahagia dari atas sini.” Bulan biru berpendapat.
“Mereka pikir makhluk kegelapan akan berpesta malam ini.”
Bulan biru tergelak. “Kupikir, mereka malah menyukai cahayaku yang indah dan cemerlang.”
“Apakah kau bisa bersembunyi dulu malam ini dan tidak terbit seperti biasa?”
“Apa yang salah dengan diriku? Aku hanya bercahaya sesuai perintah dari matahari. Kalau begitu, mintalah kepada matahari agar tidak menyinariku hari ini.”
“Nah, nah. Apa yang kalian bicarakan? Andai aku tidak muncul dan bersembunyi sebagai gerhana, para manusia pun akan bilang bahwa diriku ditelan raksasa.” Matahari menanggapi percakapan keduanya.
“Jadi, apa yang harus kulakukan sekarang?” Bumi kehabisan akal.
“Tidurlah dan matikan lampu. Percayalah, besok semua akan baik-baik saja,” saran Bulan biru dan Matahari. Bumi pun menurut. Manusia memang terlalu banyak menuntut.