· Untuk Dhaka Fofana
Waktu terus menggulung ke belakang, ketika gedung pertokoan lima lantai itu mengisap gulungan asap hitam. Tampak beberapa orang lelaki tengah didorong mundur oleh mesin cuci dan kulkas yang bergoyang-goyang keasyikan di atas lorinya masing-masing. Gulungan asap hitam makin mengental, berebut masuk ke celah-celah gedung.
Tepat di pintu masuk gedung, seorang lelaki yang belum bisa dikenali terkapar sendirian hanya ditemani sekotak kardus penyok di dadanya. Wajahnya tertutup patahan-patahan papan kapur yang siap beterbangan hampir tegak lurus di atas kepalanya.
Suara berderap meredam di lantai, ketika tepat belasan pasang kaki berlari mundur dari pelataran gedung mendekati arah pintu masuk. Mereka siap melenyapkan jejak kakinya masing-masing di perut dan wajah lelaki itu. Mereka terus berlari mundur. Terus mundur ke dalam, menjauhi lelaki itu.
Dengan sekali lompat, ingatan lelaki itu mulai berangsur pulih. Dia mulai mengingat-ingat sesuatu, lalu berlari mundurlah dia dengan kencang ke arah toko tempat di mana kardus penyok itu berasal.
Praaang! Prang!! Bunyi-bunyian seperti perang menyelimuti sekujur gedung. Pecahan gelas, percikan bensin, dan api menyatu sebelum terbang ke udara. Bidadari bersayap api terbang dari berbagai arah. Hujan ledakan turun dari langit, saat botol-botol berkepala api melengkung di langit. Suuuuing! Suing! Sekarang bintang-bintang terang beterbangan menggores langit kelam.
Air-air mulai berkejaran meninggalkan lantai dasar gedung. Sampah hitam serupa patung-patung kehilangan bentuk masih bertumpuk-tumpuk di dekat pintu mati. Sisa-sisa rongsokan hitamnya masih terpencar di antara pipa, dinding, dan langit-langit, jadi belum ada yang bisa dikenali bagian-bagian tubuh milik siapa saja itu semua.
Di lantai tiga pertokoan, kepingan-kepingan kaca berlompatan dari arah patung-patung arang berhias manik-manik. Mereka beterbangan di berbagai sudut. Hujan kristal adalah badai yang paling cepat reda di gedung itu.
Patung-patung arang itu menggeliat, kini menjelma orang-orang hitam yang mulai menguncupkan api sambil melepaskan sebagian arang di badan mereka masing-masing. Mereka berpencar sambil terus memancarkan sinar. Mirip kembang api saat malam lebaran yang dibawa anak-anak berlarian.
Air, kaca, dan sekotak kardus penyok telah menyusuri jalan kenangannya masing-masing. Mereka semua kembali utuh, dan sudah kembali ke tempat asalnya masing-masing. Begitu juga dengan lelaki itu. Dia tengah menghapus satu demi satu tapak kakinya di jalan aspal saat kembali ke tempat asalnya.
Orang-orang ke luar masuk rumah. Gang sempit jadi bertambah sempit ketika puluhan orang sibuk bergerak mundur sambil membawa barang-barang dan gerobak. Saat lelaki itu terus berlari mundur sampai di depan bedeng kontrakannya, langit beranjak terang.
Bedeng reot kontrakan lelaki itu menyambut dengan ramah, pintu tripleksnya masih dalam keadaan terbuka. Saat dia berdiri tepat di mulut pintu, sayup-sayup terdengar suara dari arah belakangnya. Setelah itu, bantal kempot di lantai semen terbang ke atas kasur. Sungguh sayang, dia tak bisa menyaksikan ada bantal kempot bisa terbang sendiri.
Ketika lelaki itu sudah berada di dalam bedeng, barulah suara tangisan perempuan itu mulai jelas terdengar. Sesampainya di dekat kasur, dia duduk sambil menemani istrinya yang sedang menahan rasa nyeri di bagian panggulnya.
Lelaki itu mencium perut istrinya. Lagi, dan lagi, dia menghapus jejak bibirnya di perut perempuan yang tengah membuncit itu.
Entah kenapa kebanyakan penulis hebat tampaknya senang sekali menyiksa daya serapku yang terbatas, yang nutrisi sehari-harinya cuma mi instan.
Baru baca satu paragraf, saya langsung curiga, ini pasti tak boleh dibaca cepat-cepat. Andai kita tak berkawan (setidaknya sempat chit-chat), tentunya saya bisa langsung tulis di kolom kalimat singkat tapi manis tanda perkawanan... Keren, Mas Yesno!
Baiklah, saya baca pelan-pelan.
Hmm, kalimat-kalimat ini ternyata mundur, ternyata juga memaksa saya memunculkan gambar di kepala.
Akhirnya selesai. Belum! Untuk memastikan apa yang saya serap, saya pun mencoba membacanya lagi dari bawah ke atas.
Ini komentar saya.
Keren, Mas Yesno! Terimakasih telah membuat kepala ini berolah-raga.
Kenyataannya, ada banyak "konsep waktu" yang berbeda dari yang selama ini kita duga—atau bahkan jalani. Suku Indian Puri, contoh lainnya, hanya memiliki satu kata untuk "kemarin", "hari ini", dan "esok". Sebagi