Api damba terkobar dalam sepasang bola mata yang menatap lekat pada sang Puja Cinta. Jarak jauh tak bisa menghalangi binar kejelasan untuk tetap menatap wanita yang terdiam di taman Soka.
Sinta. Satu nama yang dapat menggetarkan debar jantung yang kian menggila. Wanita yang selalu bersemayam di hati meskipun ada banyak selir dalam genggaman jari. Wanita cantik yang sudah berhasil dicuri dari si Keparat Rama.
Tangan mengepal dengan pancaran mata dendam terhias pada parasnya kala mengingat nama itu. Bajingan. Kata yang tepat pada Rama karena menjadi penghalang dalam cintanya untuk sang Dewi hati Sinta.
Tatapan dendam itu berubah menjadi senyuman tipis kala melihat sang Dewi tersenyum dalam ketermenungannya. Entah apa yang ada di dalam pikirannya, tapi dirinya tidak ingin bila pikiran itu terisi oleh si Keparat. Hanya dirinya. Hanya dirinya yang boleh ada di pikiran Sinta-nya.
"Apa ada sesuatu yang menarik, Dewi?"
Satu kalimat membuyarkan lamunan Sang Dewi pada sang belahan hati. Kepalanya mendongak untuk melihat pada sosok yang kini berada di hadapannya. Sosok yang berhasil menculik dan mengelabuinya. Sosok yang terkenal memiliki Sepuluh Muka. Karena keahliannya ini, ia terkecoh membantu Kakek tua yang ternyata hanya kamuflase semata. Senyuman yang sedari tadi terhias di paras berubah menjadi satu garis datar.
"Tidak. Hanya saja ... saya tertarik pada banyaknya kupu-kupu yang hinggap di kelopak bunga yang memiliki banyak sudut racun di dalamnya. Racun yang dapat membunuh diri mereka. Dan bunga itu berada di kerajaan ini. Bukankah hal itu sangat menakjubkan?"
Suara tawa menggelegar mengisi ruang kosong di Kerajaan Alengka. Sendi tubuhnya bergetar karena sindiran manis dari sang Puja Hati. "Akan lebih menakjubkan lagi bila ada satu burung cantik hinggap di kelopak bunga itu. Bagaimana? Bukankah tawaranku sangat menggiurkan?"
"Meskipun burung itu hinggap di sana, tidak mengubah bahwa burung itu sudah memiliki sang Tuan pemilik."
Gurat marah tergambar pada rona wajah Rahwana. Deru napas memburu sebab tersulut ucapan rindu Sang Dewi pada bajingan Rama. "Dan aku akan tetap memaksa burung itu di sini."
"Jangan egois, Rahwana. Kau salah. Biarkan aku pergi."
"Tidak! Apakah kau tidak melihat kesungguhanku? Aku mencintaimu dengan tulus, Sinta. Hanya padamu seorang!"
"Kau bukan mencintaiku. Tapi terobsesi padaku. Lalu, bagaimana dengan para selirmu? Apa kau tidak memikirkan mereka? Kau memiliki duniamu sendiri, begitupun denganku."
"Peduli setan dengan mereka! Lihatlah dengan pengorbananku, aku menculikmu karena aku benar-benar mencintaimu. Bahkan aku bersumpah demi langit dan bumi hanya untukmu. Tinggalkan Rama dan menikah denganku."
"Sadarlah, Rahwana. Kita tidak akan pernah bersama, karena garis takdirku hanya untuk Rama."
Tawa sumbang menguar di bibir Rahwana. "Maka akan kubuat garis takdir itu terputus meskipun harus mengorbankan kerajaanku untuk membunuh Rama!"
Gelengan kepala menjadi balasan dari Sinta. Tak percaya dengan sikap dan pikiran batu dari Raja penguasa tiga dunia ini.
"Apa yang kau ragukan dariku? Aku bisa menuruti semua keinginanmu. Kita ciptakan kebahagiaan bersama. Apakah kau tidak sadar bahwa aku bisa melakukan apapun padamu dengan kekuasaan dan kekuatuanku sekarang? Apalagi kau berada di wilayah kerajaanku ...."
"Bisa saja aku menodai dan memaksamu, tapi apa yang aku lakukan? Bahkan aku menahan semuanya hanya untukmu. Karena aku ingin kau menerimaku dengan cinta. Bukan karena nafsu!" ungkap Rahwana dengan menatap lekat pada paras Sinta.
"Aku bukan milikmu. Aku istri dari Dewa Rama."
"Apa kau yakin jika Rama mencintaimu dengan tulus? Dia dapat memilikimu hanya karena sebuah sayembara. Begitu denganku yang ingin memilikimu dengan cara yang salah sekalipun."
"Kami saling mencintai. Dan aku selalu menunggunya datang menjemputku."
"Aku tidak yakin. Karena sebelum hari itu tiba, kupastikan Rama mati di tanganku!"
Dengan hati yang kecewa memendam pupus, Rahwana melangkahkan kaki meninggalkan sang Puja Cinta yang berkali-kali menolaknya. Tak ada yang salah dengan cintanya.
Meskipun langit menentang cintanya, meskipun semesta mengutuknya, ia tak akan pernah gentar sekalipun. Meskipun kelak dirinya harus mengobarkan nyawa demi cintanya, dirinya tidak akan pernah menyesalinya. Karena ia tak pernah merasakan cinta sehebat ini. Hanya untuk Sinta. Dan hanya demi dirinya seorang diri ini mendamba tanpa batas.