Aku sudah lama menyukainya sejak kami masih duduk di bangku SMP, tapi aku tidak berani mengungkapkannya. Aku hanya diam-diam memperhatikannya dari jauh dan berharap suatu hari dia akan menyadari keberadaanku. Aku juga sering membantunya dalam belajar dan mengerjakan tugas, tapi dia tidak pernah mengucapkan terima kasih atau memberi perhatian khusus kepadaku.
Hingga suatu hari, ada sebuah acara lomba basket antar sekolah. Dia menjadi salah satu pemain utama tim basket di sekolah kami. Tentu saja aku tidak mau ketinggalan untuk menyaksikan pertandingan itu. Aku berangkat lebih awal dan duduk di tribun penonton, sambil membawa spanduk bertuliskan “Go Qiro!”.
Pertandingan berlangsung sengit dan seru. Dia bermain dengan sangat baik dan mencetak banyak poin. Dia juga menunjukkan skill dan gayanya yang keren. Aku tidak bisa berhenti menjerit dan bertepuk tangan setiap kali dia melakukan aksi spektakulernya. Aku merasa bangga dan senang melihat dirinya bersinar di lapangan.
Namun, kebahagiaanku tidak berlangsung lama. Di tengah pertandingan, aku melihat sesuatu yang membuat hatiku hancur. Aku melihat dia sedang berpelukan dengan Dina di pinggir lapangan. Dina, kapten tim pemandu sorak sekolahku. Aku menganggap dia sebagai sahabatku sejak kecil. Kami selalu bersama dan saling berbagi rahasia. Akan tetapi, ternyata dia menyimpan rahasia besar dariku. Dia ternyata pacaran dengan Qiro.
Aku merasa seperti ditusuk dari belakang. Aku tidak percaya bahwa dia bisa berkhianat padaku. Aku juga tidak percaya bahwa Qiro lebih memilih Dina daripada aku. Aku merasa semua usahaku selama ini sia-sia. Aku merasa tidak ada artinya bagi Qiro. Aku merasa tidak ada harapan lagi untuk bersama Qiro.
Aku tidak tahan lagi dan berlari keluar dari stadion, sambil menangis tersedu-sedu. Aku tidak peduli lagi dengan pertandingan. Aku hanya ingin pergi jauh dari Qiro dan Dina. Aku hanya ingin melupakan semua yang terjadi. Aku hanya ingin mengubur cintaku yang tak berbalas.
Aku meninggalkan stadion dan berjalan tanpa arah. Aku tidak tahu ke mana harus pergi. Aku merasa tidak punya tempat untuk berlindung. Aku merasa tidak punya orang yang bisa kupercaya lagi. Aku merasa sendirian dan terluka.
Aku terus berjalan sampai aku berada di sebuah taman. Aku melihat ada sebuah bangku kosong di bawah pohon. Aku memutuskan untuk duduk dan mencoba menenangkan diri. Aku mengeluarkan handphone dan melihat ada banyak pesan. Ada pula panggilan masuk dari Dina, tapi aku tidak mau membuka atau menjawabnya. Aku merasa benci dan marah padanya. Aku merasa dia tidak pantas menjadi sahabatku lagi.
Aku juga melihat ada beberapa pesan dari Qiro. Dia menanyakan keberadaanku dan meminta maaf atas apa yang terjadi. Dia mengatakan bahwa dia dan Dina hanya pacaran seminggu dan tidak serius. Dia mengatakan bahwa dia sebenarnya menyukaiku dan ingin mengajakku bicara. Dia juga mengatakan bahwa dia menyesal telah menyakitiku.
Aku bingung dan ragu. Aku tidak tahu apakah dia benar-benar jujur atau hanya berbohong. Aku tidak tahu apakah dia benar-benar menyukaiku atau hanya main-main. Aku tidak tahu apakah dia benar-benar menyesal atau hanya basa-basi. Aku tidak tahu apakah aku harus memaafkan dia atau tidak.
Aku memandang langit yang mulai gelap. Aku merasa seperti ada dua hati di dalam dadaku. Satu hati yang masih mencintai Qiro dan ingin memberinya kesempatan. Satu hati yang sudah kecewa dengan Qiro dan ingin melupakannya. Aku tidak tahu harus memilih yang mana.
Aku menutup mataku dan berdoa—meminta petunjuk dari Tuhan. Aku meminta kekuatan untuk menghadapi masalahku. Aku meminta kebijaksanaan untuk membuat keputusan yang tepat. Aku meminta cinta untuk menyembuhkan lukaku.
Aku membuka mataku dan melihat ada sesuatu yang berkilau di depanku. Aku melihat ada sebuah kalung yang tergantung di ranting pohon. Kalung itu berbentuk hati dan berwarna merah. Aku merasa heran dan penasaran. Aku berdiri dan mengambil kalung itu. Aku melihat ada sebuah tulisan di belakang kalung itu, “Karena Kucinta Kau, Qolbi. Qiro.”
Aku terkejut dan terharu. Aku menyadari bahwa kalung itu adalah hadiah dari Qiro. Aku pun teringat bahwa Qiro pernah bilang dia akan memberiku sesuatu yang spesial di hari ulang tahunku. Hari ini adalah hari ulang tahunku. Qiro pasti sengaja meletakkan kalung itu di sini, berharap aku menemukannya.
Aku merasa ada sesuatu yang berubah di dalam hatiku. Aku merasa ada sesuatu yang hangat dan lembut. Aku merasa ada sesuatu yang meyakinkan dan menenangkanku. Aku merasa ada sesuatu yang menyala dan menyinari senjaku. Aku merasa ada sesuatu yang disebut cinta.
Aku pun memutuskan untuk memberi Qiro kesempatan dan mendengarkan penjelasannya. Aku memutuskan untuk mempercayai perasaannya dan mencintainya. Kemudian aku mengenakan kalungnya di leherku, dan merasa kalung tersebut cocok denganku. Aku merasa kalung itu adalah simbol dari cintanya, dan sebagai tanda dari takdirnya.
Aku segera mengambil handphone dan mengetik pesan untuk Qiro;
“Terima kasih, Qiro. Aku juga mencintaimu. Ayo kita bicara. Aku tunggu di taman.”
Aku mengirim pesan itu dan tersenyum, merasa bahagia dan bersemangat. Jujur saja aku merasa optimis, siap, berani, dan berharap.
Aku menunggu Qiro, yakin bahwa dia akan datang. Aku yakin bahwa dia akan memeluk dan menciumku. Aku yakin bahwa dia akan membuatku bahagia.
Aku memegang dan menatap kalung itu sambil berbisik, “Karena Kucinta Kau, Qiro. Qolbi.”