Aku bertemu kunang-kunang yang hilang harapan. Redup cahayanya digerogoti gelap malam. Tidak ada pada kamu, apa-apa yang dimiliki kunang-kunang itu cemerlang. Maka aku mengutuk malam yang mengambil cahayanya. Malang sekali si kunang-kunang.
Tapi kamu tahu apa? Dia mungkin sepertiku. Kunang-kunang yang kehilangan harapan itu, mungkin adalah bentuk nyataku di dunia serangga. Aku punya cahaya yang terang, tapi hampir hilang diambil orang-orang yang serakah. Mungkin juga diambil kamu yang tidak pernah pulang. Harusnya aku tidak pamer cahaya, bukan? Adanya gelap jadi seperti salahku juga.
Namun, aku sekarang senang. Bukan karena kunang-kunang itu sudah bisa terbang bercahaya. Bukan pula karena cahayaku sudah kembali sempurna. Sekarang, aku senang karena sudah banyak tahu. Aku sudah bisa mengambil beda antara manusia yang serakah dan yang tidak; antara siapa yang datang hanya untuk cahayaku, dengan siapa yang datang saat aku sedang hanya menyimpan cahaya paling redup di dunia. Bukan kamu, tentu saja. Ada seorang lain yang bisa kupercaya, yang bukan kamu. Seorang lain yang datang justru membawakanku cahaya. Seorang yang kusebut rembulan.
Dia tidak cantik seperti pikirmu. Dia bukan rembulan yang menggantung di langit saat gelap, lalu pergi setelah diusir mentari. Bukan. Dia rembulan yang lebih nyata, meski sering kamu lupa hadirnya ada. Dia juga tidak sebesar rembulan di langit itu. Wujudnya sangat kecil, sampai-sampai sering tak terlihat.
Dia adalah sisi lain dari diriku. Dia yang kusebut rembulan, yang memberiku cahaya di saat aku sedang redup-redupnya. Dia yang tidak pernah meninggalkanku seperti kamu, atau manusia lain yang hanya butuh cahayaku. Dia adalah aku. Seorang yang paling bisa kuandalkan, paling bisa kuberi percaya, dan paling bisa membuatku bersinar lagi setelah redup.