Selalu kudengar petikan gitar menjelang fajar. Bersama aroma embun, dentingan dawai gitar itu menyelusup ke dalam relung hatiku. Begitu romantis.
Semula, aku merasa terganggu oleh petikan gitar dari rumah sebelah. Nada-nada yang mengalun dari gitar itu tak pernah kukenal dan kadang terputus-putus. Aku tak bisa menangkap harmoni nada yang menghibur telinga dan hati.
Petikan gitar itu sungguh menyebalkan! Sebentar berdenting, sebentar diam, sunyi, hening, lalu berdenting lagi. Aku nggak bisa tenang membaca buku pelajaran.
Padahal, sebelum petikan gitar itu hadir seminggu lalu, aku sangat menikmati aktivitasku membaca saat menjelang fajar. Tetapi sekarang?
Uff, sungguh petikan gitar yang tak punya etika.
Namun, ketika petikan gitar itu terdengar lebih teratur dari sebelumnya, rasa kesalku mulai reda. Nada-nada petikan gitar itu mulai akrab di telingaku. Always Somewhere, Carrie, Soldier of Fortune, hei, dari mana ia tahu lagu-lagu slow rock kesukaanku?
***
Namanya Praha. Kami bertemu dan berkenalan di warung pojok gang, saat aku hendak membeli deterjen, ia hendak membeli kopi instan untuk menemaninya mencipta lagu. Begitu rupanya, petikan gitar yang sering kudengar putus-putus itu adalah bagian dari proses kreatifnya.
Praha anak desa, baru lulus SMA. Datang ke kota ini tinggal di rumah pamannya –rumah di sebelah rumahku—untuk mengamen. “Karena di sini banyak bus kota,” katanya berkelakar.
Aku tak kesal lagi setiap mendengar petikan gitar menjelang fajar. Bahkan, melalui WA, aku pesan beberapa lagu untuk ia petik dengan dawai gitarnya.
Biarlah aktivitasku membaca buku kupindah ke jam lain, karena saat menjelang fajar aku ingin mendengar lagu-lagu pesananku mengalun lewat petikan gitar Praha dari rumah sebelah.
Alangkah menyenangkan bila aku bisa memainkan lagu-lagu itu dengan jemariku sendiri.
“Ajari Bella main gitar dong, Mas,” kataku di suatu sore, saat kami bertemu lagi di warung pojok gang.
“Boleh, tapi kapan-kapan, ya?” sahutnya.
“Mengapa bukan sekarang?” desakku.
“Malam ini aku akan ke Jakarta.”
“Untuk apa?”
“Aku masih punya seorang paman lagi di Jakarta. Aku akan menumpang tinggal di sana. Aku akan mengamen dan menawarkan lagu-lagu ciptaanku. Semoga ada produser yang tertarik.”
“Berapa lama Mas Praha akan pergi?” Ada rasa kehilangan dalam hatiku. Perkenalan kami berjalan dua bulan, mengapa harus berpisah?
“Entahlah,” Praha mengangkat bahu. “Tetapi aku janji, suatu saat aku akan menemuimu untuk mengajarimu main gitar.”
Aku tersenyum meski getir. Aku tak punya hak melarang Praha pergi. Kulepas ia dengan doa tulus.
“Semoga cita-cita Mas Praha tercapai,” kataku.
“Terima kasih,” sahutnya tersenyum. “Maafkan bila selama ini aku telah menganggu waktumu menjelang fajar dengan petikan gitarku.”
“Ya, Mas. Sama-sama.”
Menjelang fajar aku termangu duduk di sudut ranjang dekat jendela kamar. Aku menajamkan telinga, berharap keajaiban terjadi. Namun, keajaiban itu tak terjadi.
Tak ada petikan gitar dari rumah sebelah. Ah, tentu Praha telah berangkat ke Jakarta. Aku teringat janji Praha, “Suatu saat aku akan menemuimu untuk mengajarimu main gitar.”
“Ya, Mas. Aku akan menunggumu,” desisku. Kerinduan menyelinap dalam hatiku.
***SELESAI***