Flash Fiction
Disukai
0
Dilihat
133
Hati si Penyendiri
Romantis

Sudah mendekati bulan September, cuaca mulai sangat dingin, hujan gerimis sepanjang hari. Teringat akan latar sebuah dongeng cinta dari kota Praha "Somewhere Only We Know" kisah seorang pemuda patah hati yg semakin menggigil karena terselimuti dinginnya salju. Tapi aku sedang tidak patah hati, hanya sedang tidak enak hati.

Anginpun bertiup lebih kencang daripada biasanya sehingga jaket parka yg ku pakai seakan enggan lepas, setia menemani di dalam kelasku pagi ini. Sementara di luar sana segerombok daun keladi seakan-akan memanggil mengadu kedinginan tanpa bisa berbuat apa-apa. Lihatlah mereka, hanya bisa terpaku. Sementara hujan terus mengguyur tubuh mereka tanpa iba, ingin mencari perhatian dengan menangis namun apalah daya air matapun tersamarkan oleh rintik hujan, tak ada yang tahu.

Akulah si penghayal ulung, sudah hampir 2 jam pelajaran berlalu tp dari tadi aku lebih suka memandang keluar jendela dari pada menyimak pelajaran Matematika Bu Jun. Btw, Aku suka Matematika, tapi tidak pagi ini. Sudah kubilang, moodku sedang tidak baik, seperti biasa, suasana di rumah sedang panas. Ah..sudahlah...tidak penting.

Si Matematika itupun sudah pergi menjauh, berakhir antiklimaks tanpa ada yg tertinggal di kepala. Ughh...rugikah? Tidak juga...hidup tidak akan berhenti hanya karena satu mata pelajaran gagal bukan, lagian terkadang membebaskan pikiran lebih penting walaupun tidak diwaktu yg tepat. Bukankah kita berhak memilih apa yg akan kita lakukan, asal siap untuk bertanggung jawab. Aku memberanikan diri meyakinkan hati untuk pembenaran tersebut sambil berjalan menuju keluar kelas dengan tetap berkonsentrasi menghayal tentunya.

Riuhhhh....disela-sela pergantian jam pelajaran spt ini dimanfaatkan sebagian murid untuk jajan sekadar mengganjal perut lapar. Kesana kemari, hiruk-pikuk, murid-murid berseliweran di dalam dan di luar kelas. Biasanya jam kosong pergantian jam pelajaran paling lama hanya 10-15 menit tapi pagi ini berbeda. Efek kedua belas musim hujan, Guru sering tidak masuk karena alasan sakit, kebanjiran atau mungkin malas. Banyak kelas kosong dan ribut. Seperti juga kelas kami, Bu Yani sang guru Biologi absen, guru jenaka yg sebenarnya selalu kami rindukan itu harus menunggui anaknya yang terserang penyakit misterius. Misterius karena tak ada satupun yang tahu, jika ditanya beliau memilih bungkam, beredarlah berita-berita bohong yg lebih mengarah kepada kekocakan, (silahkan kalian sebutkan jenis-jenis penyakit lucu).

Kelas yang kosongpun seketika berubah menjadi pasar. Macam-macam obrolan mereka, mulai dari membahas sinetron tadi malam, ada yang pamer punya diary baru, curhat masalah cowok dan seperti biasa aku tidak tertarik dengan hal-hal seperti itu, aku yang penyendiri lebih memilih bersandar dipintu kelas, menghadap keluar sambil menghirup udara dingin yang menusuk tulang, mengamati ayam-ayam yg meringkuk berteduh basah kuyup, menikmati irama hujan yg beradu dengan atap seng dan satu lagi, sudah seperti menjadi candu, mengamati dia, perempuan cantik berwedges hitam.

Tidak, aku sedang tidak jatuh cinta...

Aku hanya sedang mencari jawaban mengapa waktu seakan berhenti ketika kumenatapnya.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar