Aku jatuh cinta padanya.
Aku tak yakin dari kapan.
Tapi rasanya hari ini pun aku jatuh cinta padanya. Lagi...
Dia datang dengan cara yang sangat tak aku duga. Awalnya hanya perbincangan singkat melalui ponsel. Setelah 10 tahun menghilang. Akhirnya dia menemukanku. Dalam grup yang sama. Aku ingat. Ia menyambutku dengan pesan hangat. Dan penuh pertanyaan. Penasaran.
Pertemuan dalam reuni. Hampir tanpa obrolan. Tapi... begitu aku melepas helm. Dia berdiri di depan pintu. Tatapannya tajam, padaku. Di bawah cahaya hangat matahari sore itu. Udara dingin itu. Atau apa?! Entah bagaimana. Rasanya, ia mampu melihat hingga tulang rusukku. Tatapan itu, hangat, dingin, menyenangkan, menakutkan, ada yang penuh dalam matanya. Hingga melemahkan tulang-tulangku.
Kami tidak pernah bertemu lagi setelah itu, setahun??? Mungkin lebih. Obrolan melalui pesan singkat. Anggap saja hanya basa-basi. Saat itu hidupku terlalu penuh. Berkencan? Lupakan. Itu bukan prioritas. Ajakannya untuk bertemu. Tak pernahku anggap. Karena kondisiku yang mengerikan. Patah hati, dikhianati, ditinggal mati orangtua, sedang jatuh bangun membangun karir.
Jarak kami semakin jauh. Baik jiwa... Maupun raga... Ratusan kilometer, kami terpisahkan.
Namun, siapa sangka. Kami bertemu kembali. Pada jarak ratusan kilometer tersebut. Kami bertemu pada titik yang sama.
Sekali... Awalnya basa-basi...
Dua kali... Hanya untuk mengisi waktu luang...
Namun, ketiga kali... Tanpa sengaja...
"Kamu ada di gerbong berapa?"
"Hah? Aku... aku di gerbong empat... Kamu di sini juga??"
"Ayo ketemu di kereta makan."
Setengah jam kemudian. Aku mempersiapkan diri. Ini akhir tahun yang menyedihkan. Aku tidak ingin bertemu cinta. Aku hanya ingin bertemu kebaikan. Aku hanya ingin bahagia. Sekali saja di tahun ini.
Aku menghapus air yang telah menggenang di ujung mata ini. Melihat kembali diri di depan cermin. Dan tersenyum. Tidak apa-apa menangis. Harus kembali terlihat bahagia.
Aku berjalan. Dari gerbong ke gerbong. Rasanya hampa. Dinginnya tahun ini. Akan berlalu dengan cepat. Sebagaimana laju kereta yang membawa kita saat ini.
Lalu aku membuka pintu terakhir. Menuju kereta makan.
Dan kamu...
Sweeter hitam itu. Berdiri di sana. Menyandar di sisi bar. Dengan raut muka gelisah. Memegang ponselmu khawatir.
Mendengar pintu terbuka. Wajahmu langsung terangkat. Senyuman itu merekah. Begitu melihatku. Apakah ini karna diriku? Tidak tentu saja tidak bukan???
Tapi... mengapa senyuman dan mata itu... terlihat begitu tulus...
Hal apa yang telah aku lalui??? Aku tidak tau apakah aku pantas, mengakhiri tahun dengan melihat senyuman tulus itu.